tag:blogger.com,1999:blog-5412668454618015462024-03-21T07:24:44.563-07:00KUMPULAN CERPENApril Movedhttp://www.blogger.com/profile/06026719454559610464noreply@blogger.comBlogger8125tag:blogger.com,1999:blog-541266845461801546.post-33296615808214261462011-05-29T22:23:00.000-07:002011-05-29T22:32:42.059-07:00Ketika Kami Tak Cocok Lagi<div style="color: rgb(51, 51, 255);" class="storycontent"> <p>Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan yang hangat yang muncul ketika saya bersender di bahunya yang bidang. Tiga tahun dalam masa kenalan dan bercumbu, sampai sekarang, dua tahun dalam masa pernikahan, harus saya akui, saya mulai merasa lelah dengan semua itu.</p> <p>Alasan saya mencintainya pada waktu dulu, telah berubah menjadi sesuatu yang melelahkan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak kecil yang menginginkan permen. Dan suami saya bertolak belakang dari saya, rasa sensitifnya kurang, dan ketidakmampuannya untuk menciptakan suasana yang romantis di dalam pernikahan kami telah mematahkan harapan saya tentang cinta.</p> <p>Suatu hari, akhirnya saya memutuskan untuk mengatakan keputusan saya kepadanya. Saya menginginkan perceraian.</p> <p>“Mengapa?” dia bertanya dengan terkejut.</p> <p>“Saya lelah. Terlalu banyak alasan yang ada di dunia ini,” jawab saya.</p> <p>Dia terdiam dan termenung sepanjang malam dengan rokok yang tidak putus-putusnya. Kekecewaan saya semakin bertambah. Seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang saya bisa harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya, “Apa yang dapat saya lakukan untuk mengubah pikiranmu?”</p> <p>Seseorang berkata, mengubah kepribadian orang lain sangatlah sulit, dan itu benar. Saya pikir, saya mulai kehilangan kepercayaan bahwa saya bisa mengubah pribadinya. Saya menatap dalam-dalam matanya dan menjawab dengan pelan, “Saya punya pertanyaan untukmu. Jika kamu dapat menemukan jawabannya yang ada di dalam hati saya, mungkin saya akan mengubah pikiran. Seandainya, katakanlah saya menyukai setangkai bunga yang ada di tebing gunung, dan kita berdua tahu, jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?”</p> <p>Dia berkata, “Saya akan memberikan jawabannya besok.”</p> <p>Hati saya langsung gundah mendengar responnya. Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya melihat selembar kertas dengan coret-coretan tangannya, di bawah sebuah gelas yang berisi susu hangat, yang bertuliskan:</p> <p>“Sayang, Saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu. Tetapi izinkan saya untuk menjelaskan alasannya.”</p> <p>Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya mencoba untuk kuat melanjutkan membacanya kembali…</p> <p>“Kamu hanya bisa mengetik di komputer dan selalu mengacaukan program di PC-nya dan akhirnya menangis di depan monitor. Lalu saya harus memberikan jari-jari saya untuk memperbaiki programnya.</p> <p>“Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan saya harus memberikan kaki saya supaya bisa masuk mendobrak rumah, membukakan pintu untukmu.</p> <p>“Kamu suka jalan-jalan ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi: saya harus memberikan mata untuk mengarahkanmu.</p> <p>“Kamu selalu pegal-pegal pada waktu ‘tamu’ kamu datang setiap bulannya: saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kakimu yang pegal.</p> <p>“Kamu senang diam di dalam rumah, dan saya kuatir kamu akan jadi ‘aneh’. Lalu saya harus memberikan mulut saya untuk menceritakan lelucon dan cerita-cerita untuk menyembuhkan kebosananmu.</p> <p>“Kamu selalu menatap komputer dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu. Saya harus menjaga mata saya sehingga ketika nanti kita tua, saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu. Saya akan memegang tanganmu, menelusuri pantai, menikmati sinar matahari dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga kepadamu yang bersinar seperti wajah cantikmu….</p> <p>“Juga sayangku, saya begitu yakin ada banyak orang yang mencintaimu lebih dari cara saya mencintaimu. Tapi saya tidak akan mengambil bunga itu lalu mati….”</p> <p>Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur dan saya membaca kembali…</p> <p>“Dan sekarang sayangku, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri di sana dengan susu segar dan roti kesukaanmu….”</p> <p class="MsoNormal">Saya segera membuka pintu dan melihat wajahnya yang dulu sangat saya cintai. Dia begitu penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti. Saya tidak kuat lagi dan langsung memeluknya dan rebah di bahunya yang bidang sambil menangis….</p> </div>April Movedhttp://www.blogger.com/profile/06026719454559610464noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-541266845461801546.post-21715812986246515252011-05-26T03:26:00.000-07:002011-05-26T03:29:17.652-07:00Bobby<p style="color: rgb(102, 0, 204);" class="MsoNormal"><strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;" lang="EN-GB">Sanggatlah tepat kalau Bobby memilih untuk berbagi dengan Lee buat urusan cintanya dengan Fina. Karena kerahasiaannya sudah dapat dijamin.</span></strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Comic Sans MS";" lang="EN-GB"><br /><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">Panas terik pukul dua siang seperti ini adalah jam yang paling tepat untuk tidur siang. Kalau bukan untuk mendapatkan kembali perhatian dari Fina, juga kalau bukan karena seminggu lagi tim basket sekolahnya akan menjadi tuan rumah Perempat </span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">Final Competisi basket antarsekolah, mungkin Bobby akan memilih pulang. Ditambah cedera lutut kanannya yang belum sembuh benar akibat latihan tiga hari lalu, sedikit banyak membuat Bobby setengah hati mengawali latihan hari ini.</span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">Bobby masih sibuk dengan isi lokernya.</span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">“Gimana dengan lutut lu...” tanya Lee, setelah sekian detik melihat raut mukasobatnya sesekali meringis menahan sakit.</span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">Bobby melirik Lee sejenak, playmaker handalan tim basketnya itu ternyata sudah siap dengan kostum latihannya.</span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">“Lumayan, thanks.” Bobby kembali sibuk dengan isi lokernya.</span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">“Kalau memang masih sakit, mendingan absen dulu.”</span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">Bobby cuma nyengir.</span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">“Jangan dipaksain,” sambung Lee.</span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">“No problem....”</span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">“ Baguslah....” Lee menepuk bahu sobatnya sambil berlari kecil memasuki hall basket. Bobby menyusul dari belakang. </span></strong></span><span style="font-size: 10pt; font-family: "Comic Sans MS";" lang="EN-GB"><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;"> Bobby sempat melirik sederetan tim penari sorak duduk di pinggir lapangan yang siang ini juga ikut latihan. Ia menemukan sosok Fina, di antaranya, karena hanya itulah yang menyemangatinya untuk tetap latihan hari ini.</span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">Andai saja hubungannya dengan Fina masih sehangat sebelum keputusan yang diambil Fina satu bulan lalu, pasti Bobby sudah berada di dekatnya seperti pada latihan-latihan sebelumnya. Bobby melihat, Fina tengah tertawa renyah dengan teman-teman sesama cheerleaders. Senyum manis itu... Bobby kembali melayang, tapi tiba-tiba </span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">bola basket mendarat tepat didadanya.</span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">“Ayo latihan.... Jadi jalangkung lu kalau kelamaan bengong,” Lee cekikikan.Spontan Bobby menangkap bola dan langsung men-dribble ke tengah lapangan. Sudah dua kali ini Bobby memilih mampir di rumah Lee, selepas latihan basket. </span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">Atau tepatnya hampir satu bulan ini ketika Fina memutuskan meminta waktu untuk menata kembali hubungan pacaran yang masih berumur <st1:place st="on"><st1:city st="on">lima</st1:City></st1:place> bulan tanpa alasan, Bobby lebih sering curhat sama Lee. Sampai detik ini ia masih belum habis pikir kenapa </span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">Fina memutuskan untuk menolak buat diajak ketemu, menolak buat diajak pulang atau jalan bareng. Untuk saat ini Bobby masih mencoba menerima keputusan Fina yang juga menolak untuk berkomunikasi lewat telepon atau SMS sekalipun.</span></strong></span></p> <p style="color: rgb(102, 0, 204);" class="MsoNormal"><strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;" lang="EN-GB">Sore ini, begitu Lee membuka pintu kamar, Bobby langsung melempar tubuhnya di atas tempat tidur. Lee melepas kostum basketnya, membuka sebotol air mineral yang diambilnya dari kulkas sebelum masuk ke kamar, meminumnya hingga hampir tandas </span></strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Comic Sans MS";" lang="EN-GB"><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">separuh. Kemudian mulai asyik dengan PS Soccer-nya. Begitulah Lee, meski tahu betul Bobby sedang bermasalah, ia nggak mau melibatkan diri sebelum Bobby memulai. Sanggatlah tepat kalau Bobby memilih untuk berbagi dengan Lee buat urusan cintanya dengan Fina. Karena kerahasiaannya sudah dapat dijamin, Lee memang paling terkenal nyaris tanpa suara alias diem tau tepatnya irit omongan.</span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">“Bagi dong minumnya,” Bobby bangun dari rebahannya dan berjalan agak sempoyongan </span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">menyambar botol air mineral lalu meminum airnya. Kini Bobby merasa lebih segar. Lee masih asyik dengan PS Soccer-nya. </span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">“Lee, gue masih nggak tahu jalan pikiran Fina,” Bobby mulai berkeluh kesah.</span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">“Jalan nggak, jomblo juga nggak...,” kata Bobby sambil menarik napas berat.</span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">“Pikirian cewek kadang sulit ditebak, Bob,” Lee mengecilkan suara PS-nya.</span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">“Besok Fina mau ngajakin ketemu...”</span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">“Lantas...”<o:p></o:p></span></strong></span></p> <p style="color: rgb(102, 0, 204);" class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Comic Sans MS";" lang="EN-GB">“Gue belum siap dengan apa yang akan diputuskan Fina.”<br />“Gue nggak terlalu banyak tahu soal cinta. Hanya, yang gue tahu, gue akan merasa kesepian banget saat cinta itu hilang,” Lee mulai menghentikan PS Soccer-nya.<br />“Kalau gue boleh bilang... pacaran itu kayak waktu kita lagi maen layang-layang. Jangan diulur terlalu panjang, juga jangan ditarik terlalu kuat. Kalau gue jadi lu... bukan lu yang harus nunggu keputusan Fina, tapi lu yang harus bisa ngambil keputusan.”<br />Bobby menarik napas panjang, keningnya berkerut beberapa baris.<br />“Maksud lu...”<br />“Fina melakukan itu pasti ada sebabnya. Apa pun penyebabnya, introspeksi diri kayaknya yang terpenting. Kalau hanya menghindar nggak mau ketemu atau nggak mau ditelepon, nggak bakal ada jalan keluarnya.”<br />“Ngerti.... Trus gue harus gimana?”<br />“Siap-siap aja jadi jomblo,” jawab Lee seenaknya.<br />“Biar lu ada temen jomblo...” Bobby melempar bantal ke arah muka sobatnya.<br />Tapi Lee dengan gesit melayangkan tangannya untuk menangkap bantal itu.<br />“Tahu kenapa sampai saat ini gue masih jomblo? Karena gue mau cari cewek yang mau mencintai gue bukan guenya yang mencintai.... Jadi kalau nantinya bubar, gue nggak merengek- rengek kayak lu,” Lee ngakak.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><strong style="color: rgb(102, 0, 204);"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;" lang="EN-GB">“Jadi lu lebih seneng kalau gue bubaran....” </span></strong><span style="font-size: 10pt; font-family: "Comic Sans MS"; color: rgb(102, 0, 204);" lang="EN-GB"><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">Kali ini Lee nggak bisa menghindar ketika Bobby langsung mengacak-acak rambutnya. Dan keduanya larut dalam pembicaraan yang lain Usai latihan terakhir, Bobby bergegas meninggalkan hall basket dan menuju loker, merapikan isi tas. Sejenak Bobby masih menata debaran dadanya, pandangannya masih sedikit berputar, dan keputusan Fina atau tepatnya kejujuran yang sudah diceritakan selepas latihan tadi masih berdengung di kupingnya.</span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">“Gue minta maaf, Bob, bukan berarti gue mempermainkan perasaan lu.... Dari pertama gue sudah merasa simpati sama lu. Makanya waktu lu nyatain perasaan cinta sama gue, gue nggak bisa nolak. Karena gue pikir, seiring dengan berjalannya waktu nantinya gue bisa mencintai lu.</span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">Tapi nyatanya gue nggak bisa merasa berbunga-bunga saat berduaan, begitu juga ketika ngobrol berjam-jam, sama saat gue ngedapetin kiriman SMS yang begitu romantis, yang seharusnya bisa bikin hati gue berdesir.... Gue gak bisa ngerasain </span></strong><br /><strong><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;">itu. Juga waktu gue minta break sementara waktu buat nggak ketemu atau telepon... gue nggak merasakan ada rasa kangen, Bob. Sekarang gue sadar, simpati aja kayaknya belum cukup buat membangun hubungan pacaran.</span></strong></span><span style="font-size: 10pt; font-family: "Comic Sans MS";" lang="EN-GB"><br /> <strong style="color: rgb(102, 0, 204);"><span style="font-family: "Comic Sans MS"; font-weight: normal;"> </span></strong><span style="color: rgb(51, 51, 0);"><span style="color: rgb(102, 0, 204);">Gue pikir... gue nggak bisa terus-terusan ngebohongi perasaan gue, terlebih sama lu. Gue tahu, ini nggak adil buat elu, Bob. Gue nggak mau kebohongan ini semakin berlarut....”</span><br /><span style="color: rgb(102, 0, 204);"> Oh God, Bobby nggak sanggup lagi untuk mengingat-ingat apa yang diucapkan Fina. </span><br /><span style="color: rgb(102, 0, 204);"> Dan yang dirasakan saat ini, kepalanya makin berdenyut. Menarik napas kuat-kuat dan mencoba mengumpulkan segenap tenaganya untuk bisa pulang ke rumah dengan berjalan tegap. Dan membangun semangatnya untuk bisa menghadapi kompetisi basket besuk sore. </span><br /><span style="color: rgb(102, 0, 204);"> Benar apa yang dibilang Lee, dicintai memang lebih menyenangkan daripada harus mencintai.</span><br /><span style="color: rgb(102, 0, 204);"> Kadang kejujuran memang menyakitkan. Tapi Bobby harus berusaha melewatinya. Kompetisi basket sudah di depan mata, ia ingin membuktikan, tim basketnya bisa masuk final....</span><b> </b></span></span></p>April Movedhttp://www.blogger.com/profile/06026719454559610464noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-541266845461801546.post-9562148057779685352011-05-26T03:22:00.001-07:002011-05-26T03:23:06.663-07:00SAYANG AND CINTA<span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Kamu sayang aku, bukan cinta aku. Itu beda, Ly. Tapi it’s ok. Waktu akan memulihkan semuanya. Lagipula kita beda sekolah. Pasti akan lebih mudah untuk saling melupakan.”</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Sedianya sore ini Ruben akan mengantarkan Lily ke rumah Andang. Pacar mungilnya yang cantik itu</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">ingin meminjam catatan Andang yang super rapi</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">karena semesteran sudah di depan mata. Sayangnya Ruben kecele. Ia tidak tahu apa maksud kepentingan</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Allan yang sore itu sudah duduk manis di sofa</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">ruang tengah rumah Lily.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Hai, ngapain kamu disini?” tanya Ruben. Ia</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">menekan suaranya agar Allan tahu kalau ia tidak</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">suka akan keberadaan Allan di rumah pacarnya.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Sabtu sore kok ke rumah pacar orang?</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Eh, Ben. Mau jemput Aster nih, adiknya Lily.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Wuih, Ruben merasa lega mendengar jawaban Allan.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Memang kamu pacaran sama Aster?” tanya Ruben</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">lagi. Setahu Ruben, Aster baru kelas tiga SMP.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Emang gak boleh?” balas Allan.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Jadilah mereka mengobrol berempat di ruang tengah sebelum berangkat ke masing-masing tujuan. Ruben bukannya cemburu, tetapi melihat pandang mata Allan terhadap Lily, ia merasa Allan sebenarnya menyimpan rasa yang lain terhadap Lily.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Aster sama Allan, apa mereka lagi pacaran?”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Mungkin cinta monyet buat Aster, tapi gak tahu</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">kalau Allan,” kata Lily santai.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Bagaimana kalau sebenarnya Allan ngincer kamu,</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">tapi pura-pura mendekati Aster?” tanya Allan lagi,</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">mirip polisi yang sedang menginterogasi penjahat.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> Tanpa diminta, wajah Lily berubah warna. Pacarnya gugup. Allan merasa jantungnya berdebur aneh. Kali ini ia memang cemburu.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Inginnya Lily saat ini ia bersama Ruben.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Langit yang semakin hitam dengan tumpukan awan</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">yang berat bergelayutan menandakan sebentar lagi bakal turun hujan deras. Sayangnya Ruben sedang praktikum sehingga tidak bisa menjemputnya. Dan ketika Lily bimbang akan menunggu bis atau naik taksi saja, ada Allan yang sudah menjejeri langkahnya.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Pulang?”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Heeh.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Ayo, kuantar. Sekalian mau mengembalikan</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">buku Aster,” kata Allan menawari tumpangan.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Tapi…”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Ayolah, rasanya dengan motor ini kita</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">akan lebih cepat sampai rumahmu ketimbang menunggu bis atau taksi yang lewat.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Mereka boncengan naik motor Allan. Dan</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">mereka juga kehujanan tepat dua menit sebelum</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">sampai rumah Lily. Mereka sama-sama basah.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Sori, Ly. Kupikir aku bisa mengantarmu tanpa perlu membuatmu basah,” celetuk Allan.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Diseruputnya teh manis hangat, perlahan.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Mau gimana. Namanya juga cuaca. Susah diprediksi. Tapi trims ya, setidaknya aku ngirit</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">ongkos siang ini.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Ternyata Aster tidak ada di rumah. Adik</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Lily itu langsung les piano sepulang sekolah.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Ingat akan perkataan Ruben beberapa waktu lalu,</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Lily setengah hati menemani Allan di ruang tengah.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> Bukan apa-apa, tiba-tiba saja ada yang berdesir di</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">seluruh permukaan kulitnya ketika menemukan Allan yang tengah menatapnya. Tatapan yang tidak biasa.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Ly, ada yang ingin kukatakan, tapi….”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Tentang apa, Lan?” Kembali Lily merasa</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">ada yang aneh dengan perasaannya sendiri.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Tentang rindu.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Lily masih berusaha tenang untuk mendengarkan kelanjutan ucapan Allan, namun saat itu pintu depan terbuka, menyembulkan sosok Aster yang juga kebasahan.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Hai, udah lama? Nunggu aku ya?” Dengan</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">gaya kocaknya Aster menepuk punggung Allan.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Dan Lily tentu saja segera beringsut meninggalkan mereka berdua. Sambil menyimpan ucapan Allan yang terakhir untuknya.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Mereka berdua berteman akrab. Tetapi sejak</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">kemunculan Ruben dalam hidup Lily, segalanya</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">berubah. Ada jeda yang tak bisa diterjemahkan yang memisahkan keakraban mereka. Rasanya sejak ada Ruben, mereka nyaris tidak pernah saling bersentuhan lagi. Lily takut Ruben tersinggung.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Allan takut Ruben cemburu. Padahal dulu, mereka</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">begitu dekat satu sama lain dalam ikatan persahabatan.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Apa keistimewaan Ruben untuk kamu?”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Begitulah pertanyaan Allan ketika Lily</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">memutuskan untuk menerima Ruben sebagai pacar. Ia tak berani menganggap tanya itu sebagai bentuk kecemburuan. Bukankah mereka hanya bersahabat. “Yaahh, dia baik, Lan.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Hanya itu?”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Dia… dia… berani mengungkapkan</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">perasaannya padaku dengan jujur.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Sejak itulah mereka tidak bersama lagi. Tetapi setelah beberapa waktu, tiba-tiba saja Allan mulai hadir kembali di rumah Lily. Bukan untuk menjumpainya. Ia hadir untuk Aster, adik Lily. Dan melihat keakraban mereka, Lily merasa perasaannya terombang-ambing. Ia yakin tidak salah memilih Ruben. Namun, melihat Allan yang amat care terhadap Aster, Lily merasa jiwanya terbelah.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“As, kamu pacaran sama Allan ya?”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Emang kenapa, Kak? Gak boleh?” balas Aster.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Mereka sedang nonton DVD berdua di kamar Lily.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Brad Pitt yang sedang berlaga dalam Troy berubah menjadi sosok Allan dalam penglihatan Lily. Wuih, kenapa bukan menjelma menjadi Ruben?</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Gak apa.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Kak, akhir-akhir ini kok Kakak lebih sering</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">ngelamun. Mikirin Ruben atau Allan?”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Tembakan itu begitu jitu. Mengena di jantung Lily.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Ia merasa punggungnya amat panas lantaran jengah. Sementara Aster sendiri tidak mengalihkan pandang dari film yang ditontonnya.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Eh, kenapa kamu ngomong begitu?”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Barulah Aster menengok. “</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Yah, feeling aja. Kayaknya Allan menganggap Kakak bukan sebagai sahabat, tapi pacar yang bertepuk sebelah tangan.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Ah, masa. Dia kan tau kalau aku udah pacaran sama Ruben.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“O, ya? Terus kenapa Ruben tidak datang-datang</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">selama tiga pekan ini?” “Memang itu urusan kamu?” balas Lily merasa</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">tersudut. Aster memang benar, Ruben tidak muncul</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">karena sedang marah. Marah karena akhirnya tahu</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">kalau Lily pulang berboncengan dengan Allan. Marah karena Lily tidak jujur menceritakan hal itu dan Ruben tahu dari orang lain. Padahal Lily merasa hal itu tidak perlu terlalu dibesar-besarkan.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Kami… lagi gencatan senjata,” lanjut Lily.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Bakal putus dong.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Aster! Kamu kok ngomongnya begitu sih.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Adiknya hanya mengedikkan bahu dan kembali</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">asyik menonton Troy.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Tidak mudah melupakan Ruben. Mereka selalu</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">bersama-sama sejak pacaran. Enam hari dalam</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">seminggu mereka selalu bertemu. Dan hanya karena</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">sebuah kebetulan yang tidak direncanakan sama</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">sekali, Ruben pada akhirnya ilfil pada Lily.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Aku minta maaf, Ben. Sungguh, itu kejadian yang gak disengaja.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Lagi-lagi soal Allan yang membonceng Lily terangkat dalam pembicaraan antara mereka.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Ly, aku juga minta maaf. Tapi, rasanya hubungan kita harus berakhir. Kamu tidak cinta aku sepenuhnya. Masih ada Allan dalam pikiranmu.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Setelah sekian bulan pacaran, kata-kata Ruben seperti mata panah yang amat tajam. Terhujam</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">di lubuk hati Lily begitu dalam sehingga airmata</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">menitik begitu saja menahan rasa sakit di dadanya.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">“Aku sayang kamu, Ben. Apa kamu sangsi?</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> “Kamu sayang aku, bukan cinta aku. Itu beda, Ly. </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> Tapi it’s ok. Waktu akan memulihkan semuanya. </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> Lagipula kita beda sekolah. Pasti akan lebih mudah </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> untuk saling melupakan.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> “Ben, sungguhkah kita harus berpisah?”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> Ruben tidak menjawab, tetapi ketika mereka </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> akhirnya pulang sendiri-sendiri, Lily tahu bahwa </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> hubungan kasih itu telah berakhir.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> Lily sedang membaca majalah. Ketika </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> lonceng depan berbunyi, ia membukakan pintu buat </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> seorang tamu. Allan. Melihat buket mawar yang </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> dibawa cowok itu, Lily gemetar.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> “Hai, boleh aku masuk?” sapa Allan, begitu </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> lembut.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> “Eeh, eeh, ayo masuklah.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> “Sudah lama kita gak ketemuan, Ly. Kamu </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> tampak kurusan ya?” </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> Lily mengangguk pelan. Tentu saja. Mata </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> cekungnya tidak bisa membohongi siapapun. Sudah </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> dua bulan ia putus dari Ruben, tapi masih ada </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> tangis yang tersisa atas cinta itu.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> “Ly, masih ingat waktu kukatakan tentang </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> rindu itu?”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> Desiran halus dalam dada Lily berubah </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> menjadi deburan dahsyat. Allan menatap matanya </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> langsung, dalam-dalam. “Ya, aku ingat.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> “Rindu itu buat kamu, Ly.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> Lili terperangah. Takjub. “Benarkah?”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> “Iya. Sulit sekali mengungkapkannya karena </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> aku tidak bisa mengucapkan kata cinta buat kamu. </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> Tetapi akhirnya semua bisa kuredam, bisa </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> kulupakan. Karena sekarang ada Aster yang mulai </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> belajar mencintaiku. Aku harap ia bisa tumbuh </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> dewasa bersama dengan cinta yang kutabur </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> untuknya.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> “Jadi….”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> “Aku baru mau meresmikan hubungan kami, </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> Ly. Makanya kubawakan ia bunga sebagai tanda </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> cinta. Cukup romantis kan?”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> “Romantis sekali,” desis Lily.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> “Aku gak mau ada orang lain yang keburu mendapatkan cinta Aster seperti yang terjadi </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> padamu. Aku belajar berani untuk mengungkapkan </span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> perasaanku.”</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> Tubuh Lily lunglai. Bunga itu bukan untuknya. Cinta Allan juga bukan untuk hatinya. Malam ini ada satu hal yang Lily tahu pasti, akan ada airmata lagi yang menemani tidurnya.</span>April Movedhttp://www.blogger.com/profile/06026719454559610464noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-541266845461801546.post-24482160953379404902011-05-26T00:17:00.000-07:002011-05-26T00:21:27.707-07:00PERSAHABATAN<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Comic Sans MS";" lang="EN-GB"><span style="font-family: webdings; font-weight: bold;font-size:180%;" ><span style="color: rgb(102, 0, 204);">PERSAHABATAN</span></span><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Comic Sans MS";" lang="EN-GB"><span style="font-size:100%;"><span style="color: rgb(102, 0, 204);">Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit mendung, begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah kira-kira sedikit tentang diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang sahabat. Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan. Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari sahabat. Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat. Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Riea pada ‘sahabat’ku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku. Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya. Aku menutup wajahku dengan bantal. Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka ‘menjauhiku’. “Faiy, lo kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai. Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku. Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yamg dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah </span><st1:place style="color: rgb(102, 0, 204);" st="on"><st1:state st="on">kan</st1:State></st1:place><span style="color: rgb(102, 0, 204);"> selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku. Tetapi aku masih sering merasa sendiri. Sedangkan Allah setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba memelukku. “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin gue ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa menahan tangisnya. Aku merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang. Bahkan malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai sahabatnya. Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya, Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang kalau pisah, persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku tersenyum. Menyeka sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu, terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik pada siapapun. Dan yang terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. La takhof, wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya. </span></span><o:p></o:p></span></p>April Movedhttp://www.blogger.com/profile/06026719454559610464noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-541266845461801546.post-72319225304945482192011-04-27T23:10:00.000-07:002011-05-24T10:04:47.051-07:00My Last Forty-Day Love<a href="http://suyatnapamungka.wordpress.com/2007/11/05/cerpen-di-aneka-yess-cinta-pada-tamparan-pertama/" rel="bookmark" title="Permanent link to cerpen di Aneka Yess “…. Cinta Pada Tamparan Pertama”"> <!--- blog detail Start --> </a> <div style="text-align: center; color: rgb(51, 255, 51); font-weight: bold;font-family:arial;"><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"><span style="line-height: 150%; color: rgb(0, 0, 0);font-size:100%;" lang="IN" ><span style="color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal;font-family:arial;" >Aku suka dia sejak SMP tapi dia sama sekali tidak menyadari</span></span><span style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal;font-family:arial;font-size:100%;" lang="IN" >nya. Yang membuatku masuk SMA ini hanya untuk bisa selalu melihatnya. Tapi tinggal 6 bulan lagi kelulusan SMA, ngobrol bersamanya pun tidak pernah atau mungkin dia tidak mengenalku. Aku tahu semua kesukaannya, hal yang dia benci sampai semua kebiasaan buruknya seperti tidur ngiler, suka baca komik porno, suka mengintip cewek ganti pakaian bahkan aku tahu siapa cewek yang dia suka. Tapi aku tetap menganggapnya pangeran dalam hidupku. Yuri dan Yuki hanya beda R dan K, apaka</span><span style="line-height: 150%; font-weight: normal; color: rgb(102, 0, 204);font-family:arial;font-size:100%;" >h</span> berarti kami jodoh?! Aku harap begitu.<o:p></o:p></div><div style="text-align: left;"><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" ><span style=""> </span>Sampai tiba suatu hari sehabis pulang sekolah, aku melihatnya menyeberang jalan padahal tak sampai lima meter ada truk tengah melaju kencang. Aku berlari secepat mungkin berharap aku bisa menariknya menjauh dari jalan raya. Tapi apa yang terjadi?! Inilah awal kisah dimulai.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" ><span style=""> </span>Aku memperhatikan wajah yuki yang imut, melihatnya pada saat tidur membuatku begitu senang. Saat kelopak matanya terangkat, aku tersenyum melihatnya.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >“yuri” katanya menjauh tiga langkah karena kaget<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" ><span style=""> </span>Aku duduk ditempat tidurnya sambil tersenyum melihat ekspresi takutnya.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >“ngapain kamu disini? Bukannya kamu sudah..” kata yuki<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >“mati” potongku<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" ><span style=""> </span>Yuki menelan air liur</span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" >nya</span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >, dia melihatku dari ujung kaki samp</span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" >a</span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >i ujung rambut. Dia mencolek bahuku yang masih dilapisi seragam SMA. Yuki begitu ketakutan melihatku, wajahnya yang kusukai bercucuran keringat.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >“kenapa kau tegang begitu?! Walaupun aku hantu ta</span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" >p</span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >i tetap maniskan?!” kataku tersenyum<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >“ngapain kamu disini?! Harusnya kamukan disurga” kata yuki masih dengan ekspersi takut<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >“aku cuma disini 40 hari, kamu tahukan kata orang kalo belum 40 hari arwahnya belum bisa pergi kesurga dan aku disini ingin minta pertanggungjawabanmu karna kamulah aku mati” kataku tajam mendekat kewajahnya<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" ><span style=""> </span>Yuki membelalakkan matanya, kali ini tatapannya sedih dan merasa bersalah.</span></p><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >“becanda! Ternyata aku baru tahu kamu orang yang ekspresif banget ya. Lucu!” kataku memberantakkan rambutnya.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" ><span style=""> </span>Aku tidak tahu?! Seluruh tubuh dan sifatku seakan berubah menjadi lebih berani. Aku lebih berani menatapnya, tersenyum kepadanya, bercanda kepadanya. Tapi hanya satu yang tidak berubah perasaanku kepadanya.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >***<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" ><span style=""> </span>38 hari berjalan begitu cepat, tidak terasa waktuku bersama yuki hanya tersisa dua hari lagi. 38 hari yang menyenangkan, 38 hari yang tidak mungkin terlupakan. Menakut-nakuti anak disekolah, membantu yuki </span></p><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >belajar, tidur disampingnya, melihatnya makan, memperhatikannya pada saat jam pelajaran, sampai membantunya mendapatkan cewek yang dia suka. Tapi aku belum juga mengatakan perasaanku ini. Padahal aku diberi penangguhan waktu untuk mengatakan perasaanku.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >Dua hari terakhir sebelum aku pergi.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >“sudah merasa nyaman aku melihatmu seperti ini” kataku duduk dihadapan yuki menatap wajahnya pada saat jam pelajaran.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" ><span style=""> </span>Dia menulis sesuatu dibukunya.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >‘</span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >siapa yang bisa nolak diliatin hantu manis kayak kamu’<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >Aku tersenyum membaca tulisan yuki.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >“nanti aku bilangin rika lho” kataku tersenyum usil sambil melayang menjauh dari kelasku dulu.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" ><span style=""> </span>Pada saat istirahat, aku berdiri memperhatikan yuki yang sedang berduaan dengan pacarnya, Rika. Aku tersenyum kesal membiarkan orang yang </span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" >kusukai </span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >bercanda tawa dihadapanku. Aku melayang menjauh. Saat tengah malam aku kembali, terlihat ada setangkai mawar dan notenya ditujukan untukku.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >‘</span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >maaf tadi aku nyuekin kamu, aku janji gak akan gitu lagi’<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> <span style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal;font-family:arial;font-size:100%;" lang="IN" ><span style=""> </span>Aku memeluk bunga mawar itu erat, kulangkahkan kakiku menuju yuki terbaring. Kukecup keningnya, wajahnya terpejam tanpa tahu aku tengah menangis melihatnya. Aku baringkan mawar disamping tubuhnya. Kegelapan malam ini mengisyaratkan aku harus pergi.<o:p></o:p></span> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >***<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >Hari terakhir bersama yuki.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" ><span style=""> </span>Aku bertekad akan menyampaikan perasaanku hari ini. Tapi tadi pagi aku kekamar yuki, tak terlihat dia berada disana. Sampai sorepun aku belum bertemu dengannya, seakan haripun tidak merestui aku mengungkapkan perasaanku. Akhirnya aku tulis note untuknya.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >‘</span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >jam 7 aku tunggu kamu di loker wanita, tepatnya dilokerku’<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" ><span style=""> </span></span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >Tepat pukul 7</span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" >,</span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" > yuki sampai dihadapanku. Aku berdiri tersenyum kepadanya. Dia balikkan wajahnya, tak mau ia melihatku. Aku berjalan mendekat. Aku pegang kedua tangannya, kuletakkan dikedua pipiku.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >“kamu mau pamit?” tanya yuki sengau tetap tak melihatku<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" ><span style=""> </span>Aku menganguk pelan, terlihat wajah yuki memerah menahan tangis. Akhirnya dia melihat mataku juga, matanya berkaca-kaca walau tidak </span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" >ada tetes-tetes air disitu</span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >“boleh aku pinta kamu jangan pergi?!” pinta yuki sambil mengelus pipiku lembut<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" ><span style=""> </span>Aku menggeleng pelan.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >“enggak bisa, dunia kita beda. Kalau aku boleh milih aku juga gak mau pisah sama kamu, tapi sayangnya aku gak bisa milih” kataku menatapnya lembut<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >“oh iya waktu itu kamu tanya ke aku, ngapain aku disini?! Jawabannya ada disana, didalam lokerku ada surat buat kamu. Alasan aku ada disini ada didalam surat i</span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" >tu</span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >” kataku menunjuk loker bertuliskan Yuri.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" ><span style=""> </span>Yuki berjalan kearah lokerku, membukanya dan membaca surat berwarna pink itu. Surat itu adalah surat cintaku yang yang tidak pernah kuberikan kepada yuki. Kali ini aku melihat air mata yuki mulai menetes, akupun tak bisa membendung isakkanku karna aku tahu sedikit demi sekidit tubuhku mulai menghilang dan kali ini aku benar-benar tidak akan bertemu dengan yuki lagi. Whuzz, angin berhembus kencang membuat rambut yuki bergerak kekanan. Yuki angkat kepalanya, matanya tak henti mencari sosok yuri. Tapi kini ia tahu yuri tidak akan pernah muncul lagi seperti dulu mengagetkannya. Yuki menangis dalam kesendirian, terisak dalam diam.</span></p><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" >Isakkan itu begitu dalam, isakkan kehilangan abadi dari sepasang manusia yang tidak akan pernah bisa saling bersatu.</span></p><div style="color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal; text-align: left;font-family:arial;" class="boxPinkLeftLong"><span class="fontWhite" style="font-size:100%;">07 October 2010 - 15:27 WIB By : Miaw</span></div><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal;font-family:arial;"><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="IN" ><br /></span></p><span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:100%;" ><br /></span><span style="line-height: 150%;" lang="IN"><br /></span></div></div>April Movedhttp://www.blogger.com/profile/06026719454559610464noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-541266845461801546.post-90607251499065022982011-04-27T22:29:00.000-07:002011-05-24T10:10:59.683-07:00'RAISHA' SAYANG MAMA<div style="text-align: center;" class="alinkBig"><span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:180%;" ><span style="font-weight: bold;font-family:webdings;" ></span></span></div><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Aku selalu menjalani hari seperti biasanyaa. berangkad sekolah, belajar, pulang kerumah, dan hang out dengan teman-teman. Tapi tidak untuk hari ini. Entah mengapaa perasaanku gundah gulana, aku bingung, hatiku merasaaa sakid, tapi aku tak tau apa yang sedang aku pikirkan juga rasakan. ini terjadi terus menerus hingga sesaad sebelum bel pulang sekolah berdentang. Tiba-tiba sajahh sebuah pesan masuk kedalam inbox handphoneku.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Raiisha, papah sudah didepan gerbangmu. Kita harus menengok mamah di Bandung karna mamah sedang sakid.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Begitulah isi pesan singkad yang aku baca. Dari papah. Sejak perceraian itu, mamah dan papah telah berpisahh rumah. Tapi kami masih saling berhubungan baik. Aku memilih tinggal dengan papah karna aku malas untuk pindah sekolah ke Bandung . Kebetulaan sekali sekarang aku telah kelas dua belas. Rasanya sayang untuk adaptasi di hari hari terakhir sekolah. "aku merindukanmu mamah" ucapku lirih.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Setelah bel berdentang, aku langsung merapikan bukuku dengan sigap dan berlari menuju gerbang sekolah untuk menemui papah. Kulihad kerutan dalam di dahinya, pertanda papah sedang merasakan hal yang sama denganku antara takut, cemas, gundah, juga sedih. Tapi yaa, aku tak ingin menunjukan hal itu didepan papah karna aku tak ingin menambah beban pikirannya. Ku coba mencairkan suasana karna tak ingin berjalan dalam diam selama beberapa jam kedepan.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">"Pah, mamah sakid apahh?" tanyaku pelan berusaha sedikid demi sedikid memecahkan keheningan ini.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">"Mamah didiagnosa terkena kanker rahim sayang." jawab papah sambil menahan air mata yang aku tau mungkin sebentar lagi akan jatuh. Aku hanya bisa terdiam. Aku belum mengerti harus apa. Jujur aku shock! Hatiku menjeriit. Apa yang harus aku lakukan mamaahhh?! Aku tak ingin kehilangan mamahhh.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Tapi apa dayaakuu?! Kali ini kami memang benar-benar berdiam diri. Tak ada sepatah katapun keluar dari muludku ataupun papah. Kami sedang tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Aku mengingad masa-masa yang telah aku lalui bersama mamah. Rasanyaaa aku sangad takut bila suatu hari mamah meninggalkankuu. Meskipun kami telah berpisahh rumaahh. Tapi hari-hariku tetap diwarnai oleh kehadiran mamahh. Setiap hari mamah selalu meneleponku untuk mengucapkan selamad malam. Setiap akhir pekan mamah selalu mengajakku berjalan-jalan. Tapi kenapa selama beberapa hari kemarin aku benar-benar tidak menyadari kalau mamah sakid?</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Mamah terlalu pintar menyembunyikan semuanyaaa. Bahkan dari papah sekalipun yang telah menemani hidupnya selama 15 tahun. "mamahh memang orang yang hebad tapi kali ini aku menyesali karna ternyata aku tidak terlalu peka untuk mengetahui apa yang sedang mamah rasakan. maaf." ujarku lirih dan papah hanya bisaa mengusap lembud rambudkuu sambil memberikan senyum terbaiknya seolah-olah mengatakan mamah akan baik-baik sajahh sayang. Walaupun aku tidak begitu yakin, tapi aku percayaa kalau kami semua adalah orang yang kuad.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Setibanya dirumah sakid. aku langsung mencari kamar mamah. Kubuka pintu perlahan dan kulihad mamahh sedang berbaring menghadap jendela dan membelakangiku. Mamah tidak tahu aku datang. kulihad badan itu kini telahh kurus, layu, tanpa gairah untuk menatap kehidupan. Sejujurnyaa aku tak kuasaaa menahan tangis. Tapi aku harus terlihad kuad untuk mamahh karna aku anak satu-satunya yang mamah miliki. Dengan langkah gontai ku hampiri mamah, kuusap rambudnyaa yang dulu biasa terlihad rapih juga indah dan kini berubah menjadi sedikid tidak terawat.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">"mahhh ..."</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">"..." mamah hanya diam.</span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Dan akupun langsung memeluk mamahhh. Benar-benar kali ini tak lagi aku mampu menahan semua. Air mata ini berjatuhan membasahi pipinyaa. Kukecup perlahan dan sekali lagi kusapa hangad dirinya "mahh ini raiishhaaa. mamaahh kenapaa bisa begini mahh?"</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Mamahhpun menolehh dan melihadku dengan mata nanar tapi aku tau mamah takkan pernah menunjukkan rasa sakidnyaa sesakid apapun yang dirasakan. "sayang, bagaimana hari ini? indahh?" yaaaa TUHAN! Aku lihadd ketegaran ituuu. Mamahh masih selalu menanyakan hal yang sama padaku. Setiap hari. Setiap saad dengan kalimad yang telah terekam di otakkuuu yang paling dalam, bagaimana hari ini? indah?</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Aku hanya bisaaa menjawab dengan sakid di dada, "indahh mahh. raisha sayang mamahh. cepad sembuh yaa mahh." dan akupun langsung berlari keluar. Meninggalkan mamah dengan papah. karnaa sejujurnyaaa aku benar-benar belum siap melihad ini semuaa.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">???</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Dua minggu telah berlalu sejak hari itu. Hari dimana aku melihad mamah dalam keadaan berbeda. Entah mengapaa aku sulid untuk menerimaa bahkan akuu memagari diriku dengan pikiran agar aku tak melihad mamah. Karna aku benar-benar tak kuasaaa. Setiap kali papah mengajakku untuk menjenguk mamah, aku selalu menolak. Karna aku pikir itu bukan mamahku. Mamah yang aku kenal. BUKAN! Tapi setiap kali itu juga aku menampik, aku menyadari kenyataan kalau wanita yang tak berdaya itu adalah MAMAH.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Aku terlihad begitu egoiss. Aku terlihadd begitu jahad mungkiin. Tapi tolong rasakan apa yang aku rasakan. Aku menjeriidd. Benar-benar tak menyangkaa di usianya yang masih muda. Mamah harus mengalami sakid ituuu. Hingga pada akhirnyaaa suatu malam papah menghampiriku dan berbicara "sayang, mulai besok mamah akan tinggal bersama kita. papahh mauu memfokuskan diri untuk merawad mamahh. kasian kalau di Bandung , pasti tidak ada yang merawad. kamu tidak keberatan kan sayang?"</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Aku tersentak kaget. Mamah akan tinggal bersama kami? Dengan begitu aku akan selalu melihad wajahnya, melihad tubuhnya yang kurus layu ituu? Ohh bagaimana ini tapi aku juga tidak mungkin mengecewakan papah karna tahu aku tak menginginkan mamah dalam keadaan itu.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Aku terdiam. Mencoba berpikir. Aku tidak boleh lagi egoiss. Bagaimana rasanyaa bila aku di posisi mamah. Saad anakku menolakk dirikuu. Tiba-tiba sajah tamparan kecil ituu menyadarkanku. Kalau aku haruss haruss menjadi anak yang lebih dewasa lagii. Dan perlahan ku anggukan kepala tanda menyetujui permintaan papah, lalu aku lihad secercah sinar dari mata juga senyum papah. KEBAHAGIAAN.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">???</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Keesokan harinyaa. Sepulang sekolah dan setibanya dirumah. Aku menuju kamarku dilantai dua, sebelum menaiki tangga. Kulihad pintu kamar tamu terbuka. Mamah?! Dalam hati aku bertanya, tapi aku langsung berlari menaiki tangga. Aku tak ingin menyapanyaa. Bukan tak ingin tapi lebih tepadnya aku belum siap. Setelah selesai berganti pakaian dan ingin makan, aku langsung turun kelantai bawah untuk mencari makanan yang biasanya telah disiapkan oleh bibi.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Dimejaa makan, ku buka tudung saji dan kulihad ada soup jagung dengan ayam bakar kesukaankuu. Ku buka piring yang tertelungkup, dan saad itu kutemukan secarik kertas dibawah piring itu.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Sayang bagaimana hari ini? Indah? Mamah sayang kamu hingga nafas terakhir mamah.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Saad ituu jugaa air mata ini kembali jatuhh. Aku terlaluu jahad sebagai seorang anak. Mamahh tulus menyayangikuu sedari kecil tapi aku membalasnya dengan perlakuan takk terdidik. Saad itu juga aku langsung berlarii menghampiri mamahh di kamar dan memeluknyaaa.</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">"mamahh, maafin raishaaa ." aku tak mampu berkatakata dan sekali lagi kudengar kata itu, "iia sayang, bagaimana hari ini? indah?"</span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Dann dengan senyum yang ku berikaan tulus untuk mamah, ku jawab "selalu indah mah karna mamahh." hingga rasaa takud, cemas, kecewa, sedih juga amarah lenyap begitu saja ketika kurasakan hangadnya pelukan mamahhh.</span><br /><br /><div style="text-align: right; color: rgb(51, 51, 255);">22 November 2009 - 13:14 WIB By : atanotonogoro</div>April Movedhttp://www.blogger.com/profile/06026719454559610464noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-541266845461801546.post-45705045204986559972011-04-25T21:07:00.000-07:002011-05-24T10:09:14.569-07:00DUKA APRIL<div style="text-align: left; color: rgb(51, 51, 255); font-family: arial;"><span style="font-size:85%;"><b>Aku melihat semburat luka di matamu. Walau aku tahu kamu berusaha menutupinya, tapi kamu tidak akan bisa menyembunyikannya dariku.</b></span><br /></div><span style="color: rgb(51, 51, 255);font-family:Trebuchet MS;font-size:85%;" ><br /><b>April Tahun ini. </b><br />Rhe … saat ini aku berdiri di hadapanmu. Kamu pasti tahu, tidak banyak perubahan yang terjadi padaku. Aku masih Lies yang dulu. Lies yang masih terus mencintai kamu, terus mendambakan kamu. Lies yang selalu menghormati semua keputusan kamu.<br />Rhe … setahun yang lalu kita masih bersama. Tiap aku memandangmu, selalu aku merasakan sebuah kedamaian. Aku temukan keteduhan di matamu, walau saat itu aku belum berani mengatakan betapa aku mencintai kamu. Andai saja saat itu aku berani mengungkapkan …<br />Kamu masih ingat, Rhe? Nama kita pernah berkibar di Blantika Musik Indonesia sejak kita solid bergabung dalam group band ‘Alami’, album perdana kita menembus angka penjualan lebih dari satu juta copy hanya dalam waktu dua bulan saja. Kehadiran kamu sebagai vokalis pernah begitu dipuja oleh para remaja. Aku sebagai pemegang keyboard merasa bangga, saat mereka meneriakkan namamu tanpa henti. Memuja band kita. Tapi semuanya berubah Rhe … semua berubah saat kamu mulai mengenal dunia gemerlap malam dan obat-obatan terlarang.<br /></span><span style="color: rgb(51, 51, 255);font-family:Trebuchet MS;font-size:85%;" >Padahal Rhe yang aku kenal pertama kali adalah orang desa yang lugu, anak petani yang menginginkan sebuah keberhasilan di kota besar.<br />“Sorry Rhe. Kami sudah buat kesepakatan, selama ini kami selalu memberi kesempatan pada elo untuk berubah, keluar dari jaring obat-obatan. Tapi rupanya elo tidak bisa lagi memegang kepercayaan yang kami berikan. Dengan terpaksa kami harus mengeluarkan elo dari group kita,” ucap Aldo saat itu. Aku bisa melihat wajah piasmu, Rhe … aku melihatnya dengan jelas.<br />“Kalian nggak bisa begitu saja mendepak gue dari group ini. Bagaimanapun juga gue ikut andil dalam pendirian group ini sampai group ini besar dan diperhitungkan di industri musik!” Nada bicaramu tinggi, Rhe, memperlihatkan kalau kamu tidak bisa menahan amarah yang meluap dalam hatimu. Aku memahamimu …<br />“Ini bukan masalah kecil, Rhe. Elo pemakai, dan kami ingin group ini tetap bersih,” Desi ikut berbicara.<br />Aku melihat semburat luka di matamu. Walau aku tahu kamu berusaha menutupinya, tapi kamu tidak akan bisa menyembunyikannya dariku.<br />“Kami tidak menutup kesempatan kalau elo mau balik ke sini. Tapi setelah elo bener-bener sembuh,” tutur Ozi menimpali.<br />Setelah itu kamu keluar begitu saja dengan langkah lebarmu. Kamu tahu, Rhe? Aku mencoba membelamu, tapi apa yang kudapat saat itu?<br />“Setidaknya kita bisa beri dia kesempatan. Siapa tahu dia masih bisa memperbaiki dirinya!”<br />“Kita sudah berkali-kali kasih kesempatan pada dia, Lies.<br /></span><span style="color: rgb(51, 51, 255);font-family:Trebuchet MS;font-size:85%;" >Tapi apa buktinya? Dia tetap saja seperti itu,” Aldo tetap bersikeras.<br />“Tapi …”<br />“Kamu bisa ikut keluar dari group ini kalau masih saja membela dia!” Maaf … aku kalah Rhe. Aku sama sekali tidak bisa membelamu.<br />Malam itu aku langsung meluncur ke tempat kontrakanmu. Aku berharap kita bisa bicara dari hati ke hati, agar kamu tidak menyimpan pikiran buruk tentangku. Aku melihat wajahmu begitu terkejut, saat tahu akulah yang saat itu berdiri di hadapanmu.<br />“Rhe … gue ingin meluruskan masalah.” Kamu hanya menunduk tanpa mau menatapku, mencoba menutupi wajah kuyumu. Kamu hanya membuka pintu sedikit, membiarkanku terus berdiri di luar. Padahal saat itu udara di luar begitu dingin. Tiba-tiba aku mendengar suara laki-laki yang memanggilmu dengan keras, seolah tidak suka dengan kehadiranku.<br />“Rhe … jangan terlalu lama! Katanya kita mau coba barang baru,” ucapnya. Aku terbelalak tak percaya saat mendengarnya. Kamu terlihat gugup saat kutatap matamu dengan tajam. Jangan kamu pikir aku bodoh, Rhe. Aku tahu barang apa yang dia maksudkan. Kamu masih mengonsumsi barang-barang setan itu. kamu bohong! Kamu tidak sungguh-sungguh saat mengatakan ingin memperbaiki hidupmu.<br />“Pikiran gue tentang elo salah, Rhe. Ternyata elo memang pantas hengkang dari group kami! Kamu tidak pantas bergabung dengan group kami yang bersih!” ucapku saat itu begitu dalam. Aku kecewa padamu, sungguh kecewa Tapi sungguh, Rhe!</span><span style="color: rgb(51, 51, 255);font-family:Trebuchet MS;font-size:85%;" >mengingatkan bahwa kehidupan yang kamu jalani saat itu adalah kehidupan yang akan menghancurkanmu kelak, dan aku tidak menginginkan hal itu terjadi padamu.<br />“Maafkan aku, Rhe …” gumamku. Namun hanya telingaku yang bisa mendengarnya. Aku meninggalkanmu, dengan mencoba menahan dingin yang semakin menggigit.<br /><br /><b>April tahun ini.</b><br />Kini aku berdiri tepat di hadapanmu. Walau aku tahu aku tak mungkin lagi bisa memilikimu. Aku ingat ceritamu. Kamu pernah bicara padaku kalau suatu saat nanti kamu ingin mengajakku ke daerah asalmu. Ah Rhe … semua itu kini hanya jadi impianku. Walau waktu terus berputar tapi kenangan akan dirimu terus mengalir dalam benakku. Betapa ingin aku terus mengingatnya, agar aku tak akan pernah lupa betapa kamu pernah mengisi lembar hatiku.<br />Malam itu saat group band kami latihan, kamu datang. Kamu bilang akan meninggalkan obat-obatan terlarang dan ingin kembali pada kami, untuk mengulang kembali kesuksesan yang pernah kita raih. Tapi sayang … saat itu kami sudah mendapatkan penggantimu. Kamu marah saat itu, kamu merasa dikhianati. Aku tak bisa membantu, aku kalah. Maafkan aku Rhe! Sungguh bukan itu keinginanku. Kalaupun aku bisa, aku ingin sekali membantumu.<br /></span><span style="color: rgb(51, 51, 255);font-family:Trebuchet MS;font-size:85%;" >Malamnya kamu menemuiku, kamu tumpahkan seluruh ganjalan di hatimu. Aku tahu … aku sangat tahu kamu sudah terlanjur terjebak dalam pergaulan bebas yang membuat hidupmu berantakan. Aku tahu luka hatimu Rhe, memang … hidup di kota besar se-metropolitan Jakarta itu tidaklah mudah.<br />Sayang … waktu tidak akan pernah bisa kembali. Waktu akan terus berjalan, terus menapak dan menggantikan hari-hari yang telah lalu, yang mungkin penuh dengan kesuraman. Dan kita pasti akan selalu diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memperbaiki kesalahan kita di masa lalu, menggantinya dengan hari yang lebih indah. Percayalah aku ikut terluka, Rhe. Aku turut merasakan betapa kecewanya dirimu. Aku benci pada diriku sendiriku, mengapa tidak bisa membuatmu tersenyum penuh kedamaian. Dan pagi itu 13 April 2005 aku mendengar beritamu. Berita kematianmu …<br />Rhe … kenapa kamu harus pergi dengan cara seperti itu? Kamu terlalu tergantung pada obat perusak itu hingga harus mengalami overdosis. Aku benci obat-obatan terkutuk itu! Yang telah membuatmu pergi dari diriku. Aku membaca suratmu, Rhe. Kamu katakan, betapa kamu kecewa karena setelah kamu benar-benar ingin memperbaiki dirimu, tak ada lagi orang yang mempercayaimu. Tapi kamu percaya Rhe, aku tetap mempercayai kamu sepenuhnya. Aku percaya kalau kamu benar-benar ingin memperbaiki kehidupan kelammu menjandi kehidupan yang lebih putih.<br />Rhe … apakah kamu tahu?<br /></span><p style="color: rgb(51, 51, 255);" align="left"><span style=";font-family:Trebuchet MS;font-size:85%;" >Aku begitu menyesali kebodohanku. Seharusnya aku bisa terus membelamu dan mempertahankan keberadaan kamu dalam group kita, tapi nyatanya aku sama sekali tidak bisa melakukan hal yang semestinya aku lakukan.<br /><br /><b>April tahun ini.</b><br />Rhe … setelah satu tahun berlalu, kini aku berdiri di hadapanmu. Tapi aku merasa hampa. Tak tahukah kamu, Rhe? Kini aku berada di kotamu. Yogya yang selalu kamu banggakan dengan keindahan alamnya. Aku ingin mendekapmu dalam pelukanku dan memberikan semua kedamaian yang aku punya dan kebahagiaan yang aku punya. Semua hanya untukmu, Rhe. Tapi aku tahu itu tidak mungkin lagi terjadi, Karena kini hanya pusaramu yang ada di hadapanku. Kupandang batu nisanmu. Nama ‘Rheina Yarkasi’ telah melekat di ingatanku dan akan terus seperti itu.<br />Setetes air bening mengalir dari sudut pipiku. Untuk kedua kalinya aku menangis untukmu. Setelah kematianmu setahun yang lalu. Dan saat ini, saat aku kembali datang untukmu. aku hanya bisa berharap dan berdoa, meminta pada Tuhan agar kamu mendapatkan kabahagiaan di sisi-Nya. Berbahagialah Rhe … hanya itu harapanku. Semoga Tuhan mengampuni semua kesalahanmu.<br />Rhe … aku ingin kamu tahu. Betapa aku mencintaimu, merindukanmu dan akan terus seperti itu. Walau hanya selintas bayang, itu cukup membuatku merasakan betapa kasihmu terus menyelimuti hatiku. Aku memang mencintaimu, Rhe. Dan akan tetap seperti itu.</span></p> <p style="color: rgb(51, 51, 255);" align="left"> </p><br /><div style="text-align: right; color: rgb(51, 51, 255);"><span style=";font-family:Trebuchet MS;font-size:85%;" >Oleh Muktiar Selawati</span></div>April Movedhttp://www.blogger.com/profile/06026719454559610464noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-541266845461801546.post-54249365321556842002010-04-28T22:28:00.000-07:002011-05-24T10:14:33.240-07:00Teduh Telah Pergi (T2 P)<h2 style="color: rgb(102, 0, 204); text-align: left; font-weight: normal;" class="title"><span style="font-size:100%;">“Pagi hari, di kediaman keluarga darmawan…..“Ya….. masa Dinda ke skul harus naik angkot sich, Bun?”<br /></span></h2><p style="color: rgb(102, 0, 204); text-align: left;"><span style="font-size:100%;">”Hari ini Pak Kosim nggak bisa ngantar. Karena anak nya lagi sakit, dan semalam dia izin pulang. Udah, sekali-kali kamu berangkat naik angkot, napa? Buruan sana berangkat, ntar kamu telat lho!!!”<br />”Ya udah dech….Dinda pergi dulu ya, Bun!”</span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p style="color: rgb(102, 0, 204); text-align: left;"><span style="font-size:100%;">Hari ini adalah hari yang menjengkelkan bagi Dinda. Karena supirnya harus nemani anaknya di rumah sakit. Alhasil dia harus berangkat ke skul naik angkot.</span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p style="color: rgb(102, 0, 204); text-align: left;"><span style="font-size:100%;">”Duh Bunda ne, kenapa nggak nyari orang lain sich buat nganterin aku, terpaksa dech aku naik angkot. Mana panas lagi.”<br />Saat dia lagi sibuk mengoceh, tiba-tiba muncul cowok yang cakep banget duduk tepat di sebelah Dinda. Dan jantung Dinda hampir aja copot saat tu cowok senyum dengannya.</span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p style="color: rgb(102, 0, 204); text-align: left;"><span style="font-size:100%;">Dinda ngerasaain perasaan yang lega dan semua kekesalannya hilang seketika. Karena senyum cowok itu sangat manis, apalagi ditambah dengan sorot matanya yang teduh banget, yang dapat menutupi rasa sakit yang udah lama tertahankan olehnya.<br />Seharian ini kerja Dinda hanya senyum-senyum sendiri, bundanya aja malah nganggap kalo Dinda kesambet setan halte bus.</span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p style="color: rgb(102, 0, 204); text-align: left;"><span style="font-size:100%;">”Duh….tu cowok manis banget ya…… saat gue liat mukanya, gue ngerasa kalo beban gue naik bus itu musnah semua. Sapa ya nama tu cowok? Rasanya gue pengen banget kenalan ama tu cowok. Py gue malu. Hm…. gue kasih nama “Teduh” aja dech… Coz matanya tu teduh banget. And mulai besok gue bakalan naik bus dech… coz gue pengen ngeliat muka tu cowo lagi” pikir Dinda yang masih nggak berhenti memikirkan cowok tadi, dan akhirnya dia tidur sambil berharap bisa menemukan cowok itu di mimpi indahnya.</span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p style="color: rgb(102, 0, 204); text-align: left;"><span style="font-size:100%;">Paginya….<br />“Bun, Dinda pergi skul dulu ya…!!!” pamit Dinda sambil mencium pipi bundanya<br />“Lho Din, kamu nggak nunggu Pak Kosim dulu?”<br />”Nggaklah Bun, hari ini Dinda pengen naik bus aja….da Bunda,” ucap Dinda sambil berlari meninggalkan rumahnya.<br />Sesampainya di halte bus…..<br />”Duh si teduh mana ya? Kok belom datang sich?” batin Dinda gelisah karena sang pujaan hati belum juga menampakkan batang hidungnya.</span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p style="color: rgb(102, 0, 204); text-align: left;"><span style="font-size:100%;">Tapi baru saja Dinda gelisah dengan pertanyaan yang ada di hatinya, tiba-tiba muncul seorang cowok yang bermata teduh. Cowok itu tersenyum dan menyapa Dinda.<br />”Hei….. Kamu baru naik bus ya?” sapa cowok itu yang berhasil membuat Dinda terpaku.<br />”Lho koq diam?”<br />”Eh….sorry…. tadi kamu bicara apa?”<br />”Aku tanya, kamu baru naik bus ya? Soalnya aku baru ngeliat kamu semalam”.<br />”Ha…, oh iya…..nam…..” belum Dinda menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba bus yang menuju ke sekolah Dinda datang.<br />”Eh… tu bus kamu udah datang”.<br />”Oh iya….hm… aku berangkat duluan ya…,” pamit Dinda yang dibalas dengan senyuman teduh itu lagi. Dan rasanya langkah Dinda berat banget buat ninggalin ”teduh” nya itu.</span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p style="color: rgb(102, 0, 204); text-align: left;"><span style="font-size:100%;">***</span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p style="color: rgb(102, 0, 204); text-align: left;"><span style="font-size:100%;">Sudah sebulan Dinda bertemu dengan cowok pujaan hatinya itu. Tapi nggak pernah sekalipun dia berani berkenalan dengan ”teduh”. Jangankan berkenalan, menyapa saja dia tak berani. Sampai akhirnya suatu hari Dinda memberanikan diri untuk berkenalan dengan ”teduh” hari ini. Tapi orang yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Dan Dinda nggak sadar kalo itu adalah pertemuan terakhir dengan ”teduh” nya itu.</span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p style="color: rgb(102, 0, 204); text-align: left;"><span style="font-size:100%;">***</span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p style="color: rgb(102, 0, 204); text-align: left;"><span style="font-size:100%;">Seminggu sudah Dinda menanti sang pujaan hati, tapi ”teduh” tak kunjung datang. Dan seminggu pula Dinda melewati hari-harinya dengan tidak bersemangat. Berbeda saat dia baru bertemu dengan ”teduh”.<br />Suatu pagi, saat ia menunggu bus untuk terakhir kalinya. Kursi yang biasa di duduki ”teduh” sudah di duduki oleh seseorang. Tapi seseorang itu bukan teduh melainkan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di usianya dan mukanya juga sangat mirip dengan seseorang yang sangat dirindukan Dinda. Tapi dari raut mukanya, tampak sekali kalo beliau sedang bersedih. Tiba-tiba ibu itu menyapa Dinda dengan ramah:</span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p style="color: rgb(102, 0, 204); text-align: left;"><span style="font-size:100%;">” Lagi nunggu bis ya, Dek?” sapanya ramah<br />”Iya Bu….”<br />”Kalo anak saya masih hidup, dia mungkin duduk di sini dan nungguin bus juga kayak kamu!”<br />”Lho….memangnya anak ibu kemana?”<br />”Anak saya udah nggak ada lagi. Dia udah pergi jauh dan nggak akan pernah kembali lagi”.<br />”Maksud Ibu dia pindah ke luar kota ya?”<br />“Bukan nak, dia udah meninggal dunia”.<br />”Oh…maaf ya Bu….”<br />”Nggak apa-apa koq dek….. dia tu punya mata yang teduh sekali, setiap orang yang melihatnya pasti bakal tenang dan lega.”<br />”Sayang ya Bu, sayang saya tak bisa melihat mukanya. Tapi dari cerita ibu, saya ngerasa dia mirip banget ama seseorang.”<br />”Hm…..kebetulan saya selalu membawa fotonya.” jawab ibu itu sambil menyerahkan foto anaknya.<br />”Oh ya…. sebelumnya ibu ingin minta tolong sama kamu, bisa nggak kamu membantu ibu?”<br />”Apa yang bisa saya bantu Bu?”</span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p style="color: rgb(102, 0, 204); text-align: left;"><span style="font-size:100%;">”Di belakang foto itu, anak saya menuliskan surat terakhirnya. Dan dia berpesan agar surat itu diberikan kepada seorang cewek yang bernama Dinda. Kalo adek kenal, saya minta tolong sekali supaya adik bisa menyampaikannya kepada Dinda.” pesan terakhir ibu itu dan langsung meninggalkan Dinda dengan perasaan binggung dan deg-deg-an, karena ia takut kalo cowok itu ternyata……….</span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p style="color: rgb(102, 0, 204); text-align: left;"><span style="font-size:100%;">”Halo Dinda….mungkin kamu bertanya-tanya mengapa aku tahu namamu…. itu karena aku sengaja melihat namamu….. Andai saja aku masih hidup, ingin rasanya aku berkenalan denganmu. Ingin rasanya aku lebih dekat denganmu, tapi aku tak berdaya menahan sakitnya kepalaku ini. Sekarang aku percaya dengan cinta pada pandangan pertama, karena aku ngerasa aku sudah jatuh cinta padamu saat pertama kali kita bertemu. Tapi aku ngggak punya keberanian buat ngungkapinnya.</span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p style="color: rgb(102, 0, 204); text-align: left;"><span style="font-size:100%;">Karena kita belum saling kenal, tapi sekarang aku lega, karena sebelum aku meninggal, aku bisa mengungkapkan perasaan ku ini, walaupun hanya lewat sepucuk surat. Dan sekarang aku bisa meninggalkan dunia ini tanpa beban memendam perasaan ini lagi. Terima kasih karena kamu bisa mengajari aku tentang rasanya jatuh cinta. Dan menambahkan semangatku untuk hidup lebih lama.<br />Dariku Reza”.</span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"> </div><p style="color: rgb(102, 0, 204); text-align: left;"><span style="font-size:100%;">Saat melihat foto dan membaca surat itu, air mata Dinda tak dapat di tahan lagi. Ia merasa lemas saat melihat sosok pria yang memiliki mata teduh itu. Sepasang mata yang membuatnya menanti selama sebulan. Membuatnya rela panas-panasan menunggu angkot, dan membuatnya selalu bersemangat melewati hari. Lalu dinda membaca surat terakhir dari teduh<br />Sekarang sosok itu hanya dapat tersenyum abadi, tapi tak dapat disentuh dan diajak berbicara. Dan sekarang dinda hanya bisa menangis dan menyesali kepergian ”teduh” bersama dengan rasa cintanya yang tak kan bisa tersampaikan selamanya.</span></p><div style="text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"><span style="font-size:100%;"><a href="http://suyatnapamungka.wordpress.com/2007/11/05/cerpen-di-aneka-yess-cinta-pada-tamparan-pertama/" rel="bookmark" title="Permanent link to cerpen di Aneka Yess “…. Cinta Pada Tamparan Pertama”">cerpen di Aneka Yess</a></span></div><p style="color: rgb(51, 255, 51);"><a href="http://suyatnapamungka.wordpress.com/2007/11/05/cerpen-di-aneka-yess-cinta-pada-tamparan-pertama/" rel="bookmark" title="Permanent link to cerpen di Aneka Yess “…. Cinta Pada Tamparan Pertama”"> </a> </p>April Movedhttp://www.blogger.com/profile/06026719454559610464noreply@blogger.com1