Ketika Kami Tak Cocok Lagi

Minggu, 29 Mei 2011

Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan yang hangat yang muncul ketika saya bersender di bahunya yang bidang. Tiga tahun dalam masa kenalan dan bercumbu, sampai sekarang, dua tahun dalam masa pernikahan, harus saya akui, saya mulai merasa lelah dengan semua itu.

Alasan saya mencintainya pada waktu dulu, telah berubah menjadi sesuatu yang melelahkan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak kecil yang menginginkan permen. Dan suami saya bertolak belakang dari saya, rasa sensitifnya kurang, dan ketidakmampuannya untuk menciptakan suasana yang romantis di dalam pernikahan kami telah mematahkan harapan saya tentang cinta.

Suatu hari, akhirnya saya memutuskan untuk mengatakan keputusan saya kepadanya. Saya menginginkan perceraian.

“Mengapa?” dia bertanya dengan terkejut.

“Saya lelah. Terlalu banyak alasan yang ada di dunia ini,” jawab saya.

Dia terdiam dan termenung sepanjang malam dengan rokok yang tidak putus-putusnya. Kekecewaan saya semakin bertambah. Seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang saya bisa harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya, “Apa yang dapat saya lakukan untuk mengubah pikiranmu?”

Seseorang berkata, mengubah kepribadian orang lain sangatlah sulit, dan itu benar. Saya pikir, saya mulai kehilangan kepercayaan bahwa saya bisa mengubah pribadinya. Saya menatap dalam-dalam matanya dan menjawab dengan pelan, “Saya punya pertanyaan untukmu. Jika kamu dapat menemukan jawabannya yang ada di dalam hati saya, mungkin saya akan mengubah pikiran. Seandainya, katakanlah saya menyukai setangkai bunga yang ada di tebing gunung, dan kita berdua tahu, jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?”

Dia berkata, “Saya akan memberikan jawabannya besok.”

Hati saya langsung gundah mendengar responnya. Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya melihat selembar kertas dengan coret-coretan tangannya, di bawah sebuah gelas yang berisi susu hangat, yang bertuliskan:

“Sayang, Saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu. Tetapi izinkan saya untuk menjelaskan alasannya.”

Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya mencoba untuk kuat melanjutkan membacanya kembali…

“Kamu hanya bisa mengetik di komputer dan selalu mengacaukan program di PC-nya dan akhirnya menangis di depan monitor. Lalu saya harus memberikan jari-jari saya untuk memperbaiki programnya.

“Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan saya harus memberikan kaki saya supaya bisa masuk mendobrak rumah, membukakan pintu untukmu.

“Kamu suka jalan-jalan ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi: saya harus memberikan mata untuk mengarahkanmu.

“Kamu selalu pegal-pegal pada waktu ‘tamu’ kamu datang setiap bulannya: saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kakimu yang pegal.

“Kamu senang diam di dalam rumah, dan saya kuatir kamu akan jadi ‘aneh’. Lalu saya harus memberikan mulut saya untuk menceritakan lelucon dan cerita-cerita untuk menyembuhkan kebosananmu.

“Kamu selalu menatap komputer dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu. Saya harus menjaga mata saya sehingga ketika nanti kita tua, saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu. Saya akan memegang tanganmu, menelusuri pantai, menikmati sinar matahari dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga kepadamu yang bersinar seperti wajah cantikmu….

“Juga sayangku, saya begitu yakin ada banyak orang yang mencintaimu lebih dari cara saya mencintaimu. Tapi saya tidak akan mengambil bunga itu lalu mati….”

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur dan saya membaca kembali…

“Dan sekarang sayangku, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri di sana dengan susu segar dan roti kesukaanmu….”

Saya segera membuka pintu dan melihat wajahnya yang dulu sangat saya cintai. Dia begitu penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti. Saya tidak kuat lagi dan langsung memeluknya dan rebah di bahunya yang bidang sambil menangis….

Bobby

Kamis, 26 Mei 2011

Sanggatlah tepat kalau Bobby memilih untuk berbagi dengan Lee buat urusan cintanya dengan Fina. Karena kerahasiaannya sudah dapat dijamin.

Panas terik pukul dua siang seperti ini adalah jam yang paling tepat untuk tidur siang. Kalau bukan untuk mendapatkan kembali perhatian dari Fina, juga kalau bukan karena seminggu lagi tim basket sekolahnya akan menjadi tuan rumah Perempat
Final Competisi basket antarsekolah, mungkin Bobby akan memilih pulang. Ditambah cedera lutut kanannya yang belum sembuh benar akibat latihan tiga hari lalu, sedikit banyak membuat Bobby setengah hati mengawali latihan hari ini.
Bobby masih sibuk dengan isi lokernya.
“Gimana dengan lutut lu...” tanya Lee, setelah sekian detik melihat raut mukasobatnya sesekali meringis menahan sakit.
Bobby melirik Lee sejenak, playmaker handalan tim basketnya itu ternyata sudah siap dengan kostum latihannya.
“Lumayan, thanks.” Bobby kembali sibuk dengan isi lokernya.
“Kalau memang masih sakit, mendingan absen dulu.”
Bobby cuma nyengir.
“Jangan dipaksain,” sambung Lee.
“No problem....”
“ Baguslah....” Lee menepuk bahu sobatnya sambil berlari kecil memasuki hall basket. Bobby menyusul dari belakang.

Bobby sempat melirik sederetan tim penari sorak duduk di pinggir lapangan yang siang ini juga ikut latihan. Ia menemukan sosok Fina, di antaranya, karena hanya itulah yang menyemangatinya untuk tetap latihan hari ini.
Andai saja hubungannya dengan Fina masih sehangat sebelum keputusan yang diambil Fina satu bulan lalu, pasti Bobby sudah berada di dekatnya seperti pada latihan-latihan sebelumnya. Bobby melihat, Fina tengah tertawa renyah dengan teman-teman sesama cheerleaders. Senyum manis itu... Bobby kembali melayang, tapi tiba-tiba
bola basket mendarat tepat didadanya.
“Ayo latihan.... Jadi jalangkung lu kalau kelamaan bengong,” Lee cekikikan.Spontan Bobby menangkap bola dan langsung men-dribble ke tengah lapangan. Sudah dua kali ini Bobby memilih mampir di rumah Lee, selepas latihan basket.
Atau tepatnya hampir satu bulan ini ketika Fina memutuskan meminta waktu untuk menata kembali hubungan pacaran yang masih berumur lima bulan tanpa alasan, Bobby lebih sering curhat sama Lee. Sampai detik ini ia masih belum habis pikir kenapa
Fina memutuskan untuk menolak buat diajak ketemu, menolak buat diajak pulang atau jalan bareng. Untuk saat ini Bobby masih mencoba menerima keputusan Fina yang juga menolak untuk berkomunikasi lewat telepon atau SMS sekalipun.

Sore ini, begitu Lee membuka pintu kamar, Bobby langsung melempar tubuhnya di atas tempat tidur. Lee melepas kostum basketnya, membuka sebotol air mineral yang diambilnya dari kulkas sebelum masuk ke kamar, meminumnya hingga hampir tandas
separuh. Kemudian mulai asyik dengan PS Soccer-nya. Begitulah Lee, meski tahu betul Bobby sedang bermasalah, ia nggak mau melibatkan diri sebelum Bobby memulai. Sanggatlah tepat kalau Bobby memilih untuk berbagi dengan Lee buat urusan cintanya dengan Fina. Karena kerahasiaannya sudah dapat dijamin, Lee memang paling terkenal nyaris tanpa suara alias diem tau tepatnya irit omongan.
“Bagi dong minumnya,” Bobby bangun dari rebahannya dan berjalan agak sempoyongan
menyambar botol air mineral lalu meminum airnya. Kini Bobby merasa lebih segar. Lee masih asyik dengan PS Soccer-nya.
“Lee, gue masih nggak tahu jalan pikiran Fina,” Bobby mulai berkeluh kesah.
“Jalan nggak, jomblo juga nggak...,” kata Bobby sambil menarik napas berat.
“Pikirian cewek kadang sulit ditebak, Bob,” Lee mengecilkan suara PS-nya.
“Besok Fina mau ngajakin ketemu...”
“Lantas...”

“Gue belum siap dengan apa yang akan diputuskan Fina.”
“Gue nggak terlalu banyak tahu soal cinta. Hanya, yang gue tahu, gue akan merasa kesepian banget saat cinta itu hilang,” Lee mulai menghentikan PS Soccer-nya.
“Kalau gue boleh bilang... pacaran itu kayak waktu kita lagi maen layang-layang. Jangan diulur terlalu panjang, juga jangan ditarik terlalu kuat. Kalau gue jadi lu... bukan lu yang harus nunggu keputusan Fina, tapi lu yang harus bisa ngambil keputusan.”
Bobby menarik napas panjang, keningnya berkerut beberapa baris.
“Maksud lu...”
“Fina melakukan itu pasti ada sebabnya. Apa pun penyebabnya, introspeksi diri kayaknya yang terpenting. Kalau hanya menghindar nggak mau ketemu atau nggak mau ditelepon, nggak bakal ada jalan keluarnya.”
“Ngerti.... Trus gue harus gimana?”
“Siap-siap aja jadi jomblo,” jawab Lee seenaknya.
“Biar lu ada temen jomblo...” Bobby melempar bantal ke arah muka sobatnya.
Tapi Lee dengan gesit melayangkan tangannya untuk menangkap bantal itu.
“Tahu kenapa sampai saat ini gue masih jomblo? Karena gue mau cari cewek yang mau mencintai gue bukan guenya yang mencintai.... Jadi kalau nantinya bubar, gue nggak merengek- rengek kayak lu,” Lee ngakak.

“Jadi lu lebih seneng kalau gue bubaran....”
Kali ini Lee nggak bisa menghindar ketika Bobby langsung mengacak-acak rambutnya. Dan keduanya larut dalam pembicaraan yang lain Usai latihan terakhir, Bobby bergegas meninggalkan hall basket dan menuju loker, merapikan isi tas. Sejenak Bobby masih menata debaran dadanya, pandangannya masih sedikit berputar, dan keputusan Fina atau tepatnya kejujuran yang sudah diceritakan selepas latihan tadi masih berdengung di kupingnya.
“Gue minta maaf, Bob, bukan berarti gue mempermainkan perasaan lu.... Dari pertama gue sudah merasa simpati sama lu. Makanya waktu lu nyatain perasaan cinta sama gue, gue nggak bisa nolak. Karena gue pikir, seiring dengan berjalannya waktu nantinya gue bisa mencintai lu.
Tapi nyatanya gue nggak bisa merasa berbunga-bunga saat berduaan, begitu juga ketika ngobrol berjam-jam, sama saat gue ngedapetin kiriman SMS yang begitu romantis, yang seharusnya bisa bikin hati gue berdesir.... Gue gak bisa ngerasain
itu. Juga waktu gue minta break sementara waktu buat nggak ketemu atau telepon... gue nggak merasakan ada rasa kangen, Bob. Sekarang gue sadar, simpati aja kayaknya belum cukup buat membangun hubungan pacaran.

Gue pikir... gue nggak bisa terus-terusan ngebohongi perasaan gue, terlebih sama lu. Gue tahu, ini nggak adil buat elu, Bob. Gue nggak mau kebohongan ini semakin berlarut....”
Oh God, Bobby nggak sanggup lagi untuk mengingat-ingat apa yang diucapkan Fina.
Dan yang dirasakan saat ini, kepalanya makin berdenyut. Menarik napas kuat-kuat dan mencoba mengumpulkan segenap tenaganya untuk bisa pulang ke rumah dengan berjalan tegap. Dan membangun semangatnya untuk bisa menghadapi kompetisi basket besuk sore.
Benar apa yang dibilang Lee, dicintai memang lebih menyenangkan daripada harus mencintai.
Kadang kejujuran memang menyakitkan. Tapi Bobby harus berusaha melewatinya. Kompetisi basket sudah di depan mata, ia ingin membuktikan, tim basketnya bisa masuk final....

SAYANG AND CINTA

“Kamu sayang aku, bukan cinta aku. Itu beda, Ly. Tapi it’s ok. Waktu akan memulihkan semuanya. Lagipula kita beda sekolah. Pasti akan lebih mudah untuk saling melupakan.”

Sedianya sore ini Ruben akan mengantarkan Lily ke rumah Andang. Pacar mungilnya yang cantik itu
ingin meminjam catatan Andang yang super rapi
karena semesteran sudah di depan mata. Sayangnya Ruben kecele. Ia tidak tahu apa maksud kepentingan
Allan yang sore itu sudah duduk manis di sofa
ruang tengah rumah Lily.
“Hai, ngapain kamu disini?” tanya Ruben. Ia
menekan suaranya agar Allan tahu kalau ia tidak
suka akan keberadaan Allan di rumah pacarnya.
Sabtu sore kok ke rumah pacar orang?
“Eh, Ben. Mau jemput Aster nih, adiknya Lily.”
Wuih, Ruben merasa lega mendengar jawaban Allan.
“Memang kamu pacaran sama Aster?” tanya Ruben
lagi. Setahu Ruben, Aster baru kelas tiga SMP.
“Emang gak boleh?” balas Allan.
Jadilah mereka mengobrol berempat di ruang tengah sebelum berangkat ke masing-masing tujuan. Ruben bukannya cemburu, tetapi melihat pandang mata Allan terhadap Lily, ia merasa Allan sebenarnya menyimpan rasa yang lain terhadap Lily.
“Aster sama Allan, apa mereka lagi pacaran?”
“Mungkin cinta monyet buat Aster, tapi gak tahu
kalau Allan,” kata Lily santai.
“Bagaimana kalau sebenarnya Allan ngincer kamu,
tapi pura-pura mendekati Aster?” tanya Allan lagi,
mirip polisi yang sedang menginterogasi penjahat.
Tanpa diminta, wajah Lily berubah warna. Pacarnya gugup. Allan merasa jantungnya berdebur aneh. Kali ini ia memang cemburu.
Inginnya Lily saat ini ia bersama Ruben.
Langit yang semakin hitam dengan tumpukan awan
yang berat bergelayutan menandakan sebentar lagi bakal turun hujan deras. Sayangnya Ruben sedang praktikum sehingga tidak bisa menjemputnya. Dan ketika Lily bimbang akan menunggu bis atau naik taksi saja, ada Allan yang sudah menjejeri langkahnya.
“Pulang?”
“Heeh.”
“Ayo, kuantar. Sekalian mau mengembalikan
buku Aster,” kata Allan menawari tumpangan.
“Tapi…”
“Ayolah, rasanya dengan motor ini kita
akan lebih cepat sampai rumahmu ketimbang menunggu bis atau taksi yang lewat.”
Mereka boncengan naik motor Allan. Dan
mereka juga kehujanan tepat dua menit sebelum
sampai rumah Lily. Mereka sama-sama basah.
“Sori, Ly. Kupikir aku bisa mengantarmu tanpa perlu membuatmu basah,” celetuk Allan.
Diseruputnya teh manis hangat, perlahan.
“Mau gimana. Namanya juga cuaca. Susah diprediksi. Tapi trims ya, setidaknya aku ngirit
ongkos siang ini.”
Ternyata Aster tidak ada di rumah. Adik
Lily itu langsung les piano sepulang sekolah.
Ingat akan perkataan Ruben beberapa waktu lalu,
Lily setengah hati menemani Allan di ruang tengah.
Bukan apa-apa, tiba-tiba saja ada yang berdesir di
seluruh permukaan kulitnya ketika menemukan Allan yang tengah menatapnya. Tatapan yang tidak biasa.
“Ly, ada yang ingin kukatakan, tapi….”
“Tentang apa, Lan?” Kembali Lily merasa
ada yang aneh dengan perasaannya sendiri.
“Tentang rindu.”
Lily masih berusaha tenang untuk mendengarkan kelanjutan ucapan Allan, namun saat itu pintu depan terbuka, menyembulkan sosok Aster yang juga kebasahan.
“Hai, udah lama? Nunggu aku ya?” Dengan
gaya kocaknya Aster menepuk punggung Allan.
Dan Lily tentu saja segera beringsut meninggalkan mereka berdua. Sambil menyimpan ucapan Allan yang terakhir untuknya.
Mereka berdua berteman akrab. Tetapi sejak
kemunculan Ruben dalam hidup Lily, segalanya
berubah. Ada jeda yang tak bisa diterjemahkan yang memisahkan keakraban mereka. Rasanya sejak ada Ruben, mereka nyaris tidak pernah saling bersentuhan lagi. Lily takut Ruben tersinggung.
Allan takut Ruben cemburu. Padahal dulu, mereka
begitu dekat satu sama lain dalam ikatan persahabatan.
“Apa keistimewaan Ruben untuk kamu?”
Begitulah pertanyaan Allan ketika Lily
memutuskan untuk menerima Ruben sebagai pacar. Ia tak berani menganggap tanya itu sebagai bentuk kecemburuan. Bukankah mereka hanya bersahabat. “Yaahh, dia baik, Lan.”
“Hanya itu?”
“Dia… dia… berani mengungkapkan
perasaannya padaku dengan jujur.”
Sejak itulah mereka tidak bersama lagi. Tetapi setelah beberapa waktu, tiba-tiba saja Allan mulai hadir kembali di rumah Lily. Bukan untuk menjumpainya. Ia hadir untuk Aster, adik Lily. Dan melihat keakraban mereka, Lily merasa perasaannya terombang-ambing. Ia yakin tidak salah memilih Ruben. Namun, melihat Allan yang amat care terhadap Aster, Lily merasa jiwanya terbelah.
“As, kamu pacaran sama Allan ya?”
“Emang kenapa, Kak? Gak boleh?” balas Aster.
Mereka sedang nonton DVD berdua di kamar Lily.
Brad Pitt yang sedang berlaga dalam Troy berubah menjadi sosok Allan dalam penglihatan Lily. Wuih, kenapa bukan menjelma menjadi Ruben?
“Gak apa.”
“Kak, akhir-akhir ini kok Kakak lebih sering
ngelamun. Mikirin Ruben atau Allan?”
Tembakan itu begitu jitu. Mengena di jantung Lily.
Ia merasa punggungnya amat panas lantaran jengah. Sementara Aster sendiri tidak mengalihkan pandang dari film yang ditontonnya.
“Eh, kenapa kamu ngomong begitu?”
Barulah Aster menengok. “
Yah, feeling aja. Kayaknya Allan menganggap Kakak bukan sebagai sahabat, tapi pacar yang bertepuk sebelah tangan.”
“Ah, masa. Dia kan tau kalau aku udah pacaran sama Ruben.”
“O, ya? Terus kenapa Ruben tidak datang-datang
selama tiga pekan ini?” “Memang itu urusan kamu?” balas Lily merasa
tersudut. Aster memang benar, Ruben tidak muncul
karena sedang marah. Marah karena akhirnya tahu
kalau Lily pulang berboncengan dengan Allan. Marah karena Lily tidak jujur menceritakan hal itu dan Ruben tahu dari orang lain. Padahal Lily merasa hal itu tidak perlu terlalu dibesar-besarkan.
“Kami… lagi gencatan senjata,” lanjut Lily.
“Bakal putus dong.”
“Aster! Kamu kok ngomongnya begitu sih.”
Adiknya hanya mengedikkan bahu dan kembali
asyik menonton Troy.
Tidak mudah melupakan Ruben. Mereka selalu
bersama-sama sejak pacaran. Enam hari dalam
seminggu mereka selalu bertemu. Dan hanya karena
sebuah kebetulan yang tidak direncanakan sama
sekali, Ruben pada akhirnya ilfil pada Lily.
“Aku minta maaf, Ben. Sungguh, itu kejadian yang gak disengaja.”
Lagi-lagi soal Allan yang membonceng Lily terangkat dalam pembicaraan antara mereka.
“Ly, aku juga minta maaf. Tapi, rasanya hubungan kita harus berakhir. Kamu tidak cinta aku sepenuhnya. Masih ada Allan dalam pikiranmu.”
Setelah sekian bulan pacaran, kata-kata Ruben seperti mata panah yang amat tajam. Terhujam
di lubuk hati Lily begitu dalam sehingga airmata
menitik begitu saja menahan rasa sakit di dadanya.
“Aku sayang kamu, Ben. Apa kamu sangsi?
“Kamu sayang aku, bukan cinta aku. Itu beda, Ly.
Tapi it’s ok. Waktu akan memulihkan semuanya.
Lagipula kita beda sekolah. Pasti akan lebih mudah
untuk saling melupakan.”
“Ben, sungguhkah kita harus berpisah?”
Ruben tidak menjawab, tetapi ketika mereka
akhirnya pulang sendiri-sendiri, Lily tahu bahwa
hubungan kasih itu telah berakhir.
Lily sedang membaca majalah. Ketika
lonceng depan berbunyi, ia membukakan pintu buat
seorang tamu. Allan. Melihat buket mawar yang
dibawa cowok itu, Lily gemetar.
“Hai, boleh aku masuk?” sapa Allan, begitu
lembut.
“Eeh, eeh, ayo masuklah.”
“Sudah lama kita gak ketemuan, Ly. Kamu
tampak kurusan ya?”
Lily mengangguk pelan. Tentu saja. Mata
cekungnya tidak bisa membohongi siapapun. Sudah
dua bulan ia putus dari Ruben, tapi masih ada
tangis yang tersisa atas cinta itu.
“Ly, masih ingat waktu kukatakan tentang
rindu itu?”
Desiran halus dalam dada Lily berubah
menjadi deburan dahsyat. Allan menatap matanya
langsung, dalam-dalam. “Ya, aku ingat.”
“Rindu itu buat kamu, Ly.”
Lili terperangah. Takjub. “Benarkah?”
“Iya. Sulit sekali mengungkapkannya karena
aku tidak bisa mengucapkan kata cinta buat kamu.
Tetapi akhirnya semua bisa kuredam, bisa
kulupakan. Karena sekarang ada Aster yang mulai
belajar mencintaiku. Aku harap ia bisa tumbuh
dewasa bersama dengan cinta yang kutabur
untuknya.”
“Jadi….”
“Aku baru mau meresmikan hubungan kami,
Ly. Makanya kubawakan ia bunga sebagai tanda
cinta. Cukup romantis kan?”
“Romantis sekali,” desis Lily.
“Aku gak mau ada orang lain yang keburu mendapatkan cinta Aster seperti yang terjadi
padamu. Aku belajar berani untuk mengungkapkan
perasaanku.”
Tubuh Lily lunglai. Bunga itu bukan untuknya. Cinta Allan juga bukan untuk hatinya. Malam ini ada satu hal yang Lily tahu pasti, akan ada airmata lagi yang menemani tidurnya.

PERSAHABATAN

PERSAHABATAN

Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit mendung, begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah kira-kira sedikit tentang diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang sahabat. Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan. Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari sahabat. Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat. Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Riea pada ‘sahabat’ku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku. Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya. Aku menutup wajahku dengan bantal. Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka ‘menjauhiku’. “Faiy, lo kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai. Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku. Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yamg dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku. Tetapi aku masih sering merasa sendiri. Sedangkan Allah setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba memelukku. “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin gue ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa menahan tangisnya. Aku merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang. Bahkan malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai sahabatnya. Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya, Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang kalau pisah, persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku tersenyum. Menyeka sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu, terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik pada siapapun. Dan yang terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. La takhof, wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya.