My Last Forty-Day Love

Rabu, 27 April 2011
Aku suka dia sejak SMP tapi dia sama sekali tidak menyadarinya. Yang membuatku masuk SMA ini hanya untuk bisa selalu melihatnya. Tapi tinggal 6 bulan lagi kelulusan SMA, ngobrol bersamanya pun tidak pernah atau mungkin dia tidak mengenalku. Aku tahu semua kesukaannya, hal yang dia benci sampai semua kebiasaan buruknya seperti tidur ngiler, suka baca komik porno, suka mengintip cewek ganti pakaian bahkan aku tahu siapa cewek yang dia suka. Tapi aku tetap menganggapnya pangeran dalam hidupku. Yuri dan Yuki hanya beda R dan K, apakah berarti kami jodoh?! Aku harap begitu.

Sampai tiba suatu hari sehabis pulang sekolah, aku melihatnya menyeberang jalan padahal tak sampai lima meter ada truk tengah melaju kencang. Aku berlari secepat mungkin berharap aku bisa menariknya menjauh dari jalan raya. Tapi apa yang terjadi?! Inilah awal kisah dimulai.

Aku memperhatikan wajah yuki yang imut, melihatnya pada saat tidur membuatku begitu senang. Saat kelopak matanya terangkat, aku tersenyum melihatnya.

“yuri” katanya menjauh tiga langkah karena kaget

Aku duduk ditempat tidurnya sambil tersenyum melihat ekspresi takutnya.

“ngapain kamu disini? Bukannya kamu sudah..” kata yuki

“mati” potongku

Yuki menelan air liurnya, dia melihatku dari ujung kaki sampai ujung rambut. Dia mencolek bahuku yang masih dilapisi seragam SMA. Yuki begitu ketakutan melihatku, wajahnya yang kusukai bercucuran keringat.

“kenapa kau tegang begitu?! Walaupun aku hantu tapi tetap maniskan?!” kataku tersenyum

“ngapain kamu disini?! Harusnya kamukan disurga” kata yuki masih dengan ekspersi takut

“aku cuma disini 40 hari, kamu tahukan kata orang kalo belum 40 hari arwahnya belum bisa pergi kesurga dan aku disini ingin minta pertanggungjawabanmu karna kamulah aku mati” kataku tajam mendekat kewajahnya

Yuki membelalakkan matanya, kali ini tatapannya sedih dan merasa bersalah.

“becanda! Ternyata aku baru tahu kamu orang yang ekspresif banget ya. Lucu!” kataku memberantakkan rambutnya.

Aku tidak tahu?! Seluruh tubuh dan sifatku seakan berubah menjadi lebih berani. Aku lebih berani menatapnya, tersenyum kepadanya, bercanda kepadanya. Tapi hanya satu yang tidak berubah perasaanku kepadanya.

***

38 hari berjalan begitu cepat, tidak terasa waktuku bersama yuki hanya tersisa dua hari lagi. 38 hari yang menyenangkan, 38 hari yang tidak mungkin terlupakan. Menakut-nakuti anak disekolah, membantu yuki

belajar, tidur disampingnya, melihatnya makan, memperhatikannya pada saat jam pelajaran, sampai membantunya mendapatkan cewek yang dia suka. Tapi aku belum juga mengatakan perasaanku ini. Padahal aku diberi penangguhan waktu untuk mengatakan perasaanku.

Dua hari terakhir sebelum aku pergi.

“sudah merasa nyaman aku melihatmu seperti ini” kataku duduk dihadapan yuki menatap wajahnya pada saat jam pelajaran.

Dia menulis sesuatu dibukunya.

siapa yang bisa nolak diliatin hantu manis kayak kamu’

Aku tersenyum membaca tulisan yuki.

“nanti aku bilangin rika lho” kataku tersenyum usil sambil melayang menjauh dari kelasku dulu.

Pada saat istirahat, aku berdiri memperhatikan yuki yang sedang berduaan dengan pacarnya, Rika. Aku tersenyum kesal membiarkan orang yang kusukai bercanda tawa dihadapanku. Aku melayang menjauh. Saat tengah malam aku kembali, terlihat ada setangkai mawar dan notenya ditujukan untukku.

maaf tadi aku nyuekin kamu, aku janji gak akan gitu lagi’

Aku memeluk bunga mawar itu erat, kulangkahkan kakiku menuju yuki terbaring. Kukecup keningnya, wajahnya terpejam tanpa tahu aku tengah menangis melihatnya. Aku baringkan mawar disamping tubuhnya. Kegelapan malam ini mengisyaratkan aku harus pergi.

***

Hari terakhir bersama yuki.

Aku bertekad akan menyampaikan perasaanku hari ini. Tapi tadi pagi aku kekamar yuki, tak terlihat dia berada disana. Sampai sorepun aku belum bertemu dengannya, seakan haripun tidak merestui aku mengungkapkan perasaanku. Akhirnya aku tulis note untuknya.

jam 7 aku tunggu kamu di loker wanita, tepatnya dilokerku’

Tepat pukul 7, yuki sampai dihadapanku. Aku berdiri tersenyum kepadanya. Dia balikkan wajahnya, tak mau ia melihatku. Aku berjalan mendekat. Aku pegang kedua tangannya, kuletakkan dikedua pipiku.

“kamu mau pamit?” tanya yuki sengau tetap tak melihatku

Aku menganguk pelan, terlihat wajah yuki memerah menahan tangis. Akhirnya dia melihat mataku juga, matanya berkaca-kaca walau tidak ada tetes-tetes air disitu.

“boleh aku pinta kamu jangan pergi?!” pinta yuki sambil mengelus pipiku lembut

Aku menggeleng pelan.

“enggak bisa, dunia kita beda. Kalau aku boleh milih aku juga gak mau pisah sama kamu, tapi sayangnya aku gak bisa milih” kataku menatapnya lembut

“oh iya waktu itu kamu tanya ke aku, ngapain aku disini?! Jawabannya ada disana, didalam lokerku ada surat buat kamu. Alasan aku ada disini ada didalam surat itu” kataku menunjuk loker bertuliskan Yuri.

Yuki berjalan kearah lokerku, membukanya dan membaca surat berwarna pink itu. Surat itu adalah surat cintaku yang yang tidak pernah kuberikan kepada yuki. Kali ini aku melihat air mata yuki mulai menetes, akupun tak bisa membendung isakkanku karna aku tahu sedikit demi sekidit tubuhku mulai menghilang dan kali ini aku benar-benar tidak akan bertemu dengan yuki lagi. Whuzz, angin berhembus kencang membuat rambut yuki bergerak kekanan. Yuki angkat kepalanya, matanya tak henti mencari sosok yuri. Tapi kini ia tahu yuri tidak akan pernah muncul lagi seperti dulu mengagetkannya. Yuki menangis dalam kesendirian, terisak dalam diam.

Isakkan itu begitu dalam, isakkan kehilangan abadi dari sepasang manusia yang tidak akan pernah bisa saling bersatu.

07 October 2010 - 15:27 WIB By : Miaw




'RAISHA' SAYANG MAMA

Aku selalu menjalani hari seperti biasanyaa. berangkad sekolah, belajar, pulang kerumah, dan hang out dengan teman-teman. Tapi tidak untuk hari ini. Entah mengapaa perasaanku gundah gulana, aku bingung, hatiku merasaaa sakid, tapi aku tak tau apa yang sedang aku pikirkan juga rasakan. ini terjadi terus menerus hingga sesaad sebelum bel pulang sekolah berdentang. Tiba-tiba sajahh sebuah pesan masuk kedalam inbox handphoneku.

Raiisha, papah sudah didepan gerbangmu. Kita harus menengok mamah di Bandung karna mamah sedang sakid.

Begitulah isi pesan singkad yang aku baca. Dari papah. Sejak perceraian itu, mamah dan papah telah berpisahh rumah. Tapi kami masih saling berhubungan baik. Aku memilih tinggal dengan papah karna aku malas untuk pindah sekolah ke Bandung . Kebetulaan sekali sekarang aku telah kelas dua belas. Rasanya sayang untuk adaptasi di hari hari terakhir sekolah. "aku merindukanmu mamah" ucapku lirih.

Setelah bel berdentang, aku langsung merapikan bukuku dengan sigap dan berlari menuju gerbang sekolah untuk menemui papah. Kulihad kerutan dalam di dahinya, pertanda papah sedang merasakan hal yang sama denganku antara takut, cemas, gundah, juga sedih. Tapi yaa, aku tak ingin menunjukan hal itu didepan papah karna aku tak ingin menambah beban pikirannya. Ku coba mencairkan suasana karna tak ingin berjalan dalam diam selama beberapa jam kedepan.

"Pah, mamah sakid apahh?" tanyaku pelan berusaha sedikid demi sedikid memecahkan keheningan ini.

"Mamah didiagnosa terkena kanker rahim sayang." jawab papah sambil menahan air mata yang aku tau mungkin sebentar lagi akan jatuh. Aku hanya bisa terdiam. Aku belum mengerti harus apa. Jujur aku shock! Hatiku menjeriit. Apa yang harus aku lakukan mamaahhh?! Aku tak ingin kehilangan mamahhh.

Tapi apa dayaakuu?! Kali ini kami memang benar-benar berdiam diri. Tak ada sepatah katapun keluar dari muludku ataupun papah. Kami sedang tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Aku mengingad masa-masa yang telah aku lalui bersama mamah. Rasanyaaa aku sangad takut bila suatu hari mamah meninggalkankuu. Meskipun kami telah berpisahh rumaahh. Tapi hari-hariku tetap diwarnai oleh kehadiran mamahh. Setiap hari mamah selalu meneleponku untuk mengucapkan selamad malam. Setiap akhir pekan mamah selalu mengajakku berjalan-jalan. Tapi kenapa selama beberapa hari kemarin aku benar-benar tidak menyadari kalau mamah sakid?

Mamah terlalu pintar menyembunyikan semuanyaaa. Bahkan dari papah sekalipun yang telah menemani hidupnya selama 15 tahun. "mamahh memang orang yang hebad tapi kali ini aku menyesali karna ternyata aku tidak terlalu peka untuk mengetahui apa yang sedang mamah rasakan. maaf." ujarku lirih dan papah hanya bisaa mengusap lembud rambudkuu sambil memberikan senyum terbaiknya seolah-olah mengatakan mamah akan baik-baik sajahh sayang. Walaupun aku tidak begitu yakin, tapi aku percayaa kalau kami semua adalah orang yang kuad.

Setibanya dirumah sakid. aku langsung mencari kamar mamah. Kubuka pintu perlahan dan kulihad mamahh sedang berbaring menghadap jendela dan membelakangiku. Mamah tidak tahu aku datang. kulihad badan itu kini telahh kurus, layu, tanpa gairah untuk menatap kehidupan. Sejujurnyaa aku tak kuasaaa menahan tangis. Tapi aku harus terlihad kuad untuk mamahh karna aku anak satu-satunya yang mamah miliki. Dengan langkah gontai ku hampiri mamah, kuusap rambudnyaa yang dulu biasa terlihad rapih juga indah dan kini berubah menjadi sedikid tidak terawat.

"mahhh ..."

"..." mamah hanya diam.
Dan akupun langsung memeluk mamahhh. Benar-benar kali ini tak lagi aku mampu menahan semua. Air mata ini berjatuhan membasahi pipinyaa. Kukecup perlahan dan sekali lagi kusapa hangad dirinya "mahh ini raiishhaaa. mamaahh kenapaa bisa begini mahh?"

Mamahhpun menolehh dan melihadku dengan mata nanar tapi aku tau mamah takkan pernah menunjukkan rasa sakidnyaa sesakid apapun yang dirasakan. "sayang, bagaimana hari ini? indahh?" yaaaa TUHAN! Aku lihadd ketegaran ituuu. Mamahh masih selalu menanyakan hal yang sama padaku. Setiap hari. Setiap saad dengan kalimad yang telah terekam di otakkuuu yang paling dalam, bagaimana hari ini? indah?

Aku hanya bisaaa menjawab dengan sakid di dada, "indahh mahh. raisha sayang mamahh. cepad sembuh yaa mahh." dan akupun langsung berlari keluar. Meninggalkan mamah dengan papah. karnaa sejujurnyaaa aku benar-benar belum siap melihad ini semuaa.

???

Dua minggu telah berlalu sejak hari itu. Hari dimana aku melihad mamah dalam keadaan berbeda. Entah mengapaa aku sulid untuk menerimaa bahkan akuu memagari diriku dengan pikiran agar aku tak melihad mamah. Karna aku benar-benar tak kuasaaa. Setiap kali papah mengajakku untuk menjenguk mamah, aku selalu menolak. Karna aku pikir itu bukan mamahku. Mamah yang aku kenal. BUKAN! Tapi setiap kali itu juga aku menampik, aku menyadari kenyataan kalau wanita yang tak berdaya itu adalah MAMAH.

Aku terlihad begitu egoiss. Aku terlihadd begitu jahad mungkiin. Tapi tolong rasakan apa yang aku rasakan. Aku menjeriidd. Benar-benar tak menyangkaa di usianya yang masih muda. Mamah harus mengalami sakid ituuu. Hingga pada akhirnyaaa suatu malam papah menghampiriku dan berbicara "sayang, mulai besok mamah akan tinggal bersama kita. papahh mauu memfokuskan diri untuk merawad mamahh. kasian kalau di Bandung , pasti tidak ada yang merawad. kamu tidak keberatan kan sayang?"

Aku tersentak kaget. Mamah akan tinggal bersama kami? Dengan begitu aku akan selalu melihad wajahnya, melihad tubuhnya yang kurus layu ituu? Ohh bagaimana ini tapi aku juga tidak mungkin mengecewakan papah karna tahu aku tak menginginkan mamah dalam keadaan itu.

Aku terdiam. Mencoba berpikir. Aku tidak boleh lagi egoiss. Bagaimana rasanyaa bila aku di posisi mamah. Saad anakku menolakk dirikuu. Tiba-tiba sajah tamparan kecil ituu menyadarkanku. Kalau aku haruss haruss menjadi anak yang lebih dewasa lagii. Dan perlahan ku anggukan kepala tanda menyetujui permintaan papah, lalu aku lihad secercah sinar dari mata juga senyum papah. KEBAHAGIAAN.

???

Keesokan harinyaa. Sepulang sekolah dan setibanya dirumah. Aku menuju kamarku dilantai dua, sebelum menaiki tangga. Kulihad pintu kamar tamu terbuka. Mamah?! Dalam hati aku bertanya, tapi aku langsung berlari menaiki tangga. Aku tak ingin menyapanyaa. Bukan tak ingin tapi lebih tepadnya aku belum siap. Setelah selesai berganti pakaian dan ingin makan, aku langsung turun kelantai bawah untuk mencari makanan yang biasanya telah disiapkan oleh bibi.

Dimejaa makan, ku buka tudung saji dan kulihad ada soup jagung dengan ayam bakar kesukaankuu. Ku buka piring yang tertelungkup, dan saad itu kutemukan secarik kertas dibawah piring itu.

Sayang bagaimana hari ini? Indah? Mamah sayang kamu hingga nafas terakhir mamah.

Saad ituu jugaa air mata ini kembali jatuhh. Aku terlaluu jahad sebagai seorang anak. Mamahh tulus menyayangikuu sedari kecil tapi aku membalasnya dengan perlakuan takk terdidik. Saad itu juga aku langsung berlarii menghampiri mamahh di kamar dan memeluknyaaa.

"mamahh, maafin raishaaa ." aku tak mampu berkatakata dan sekali lagi kudengar kata itu, "iia sayang, bagaimana hari ini? indah?"

Dann dengan senyum yang ku berikaan tulus untuk mamah, ku jawab "selalu indah mah karna mamahh." hingga rasaa takud, cemas, kecewa, sedih juga amarah lenyap begitu saja ketika kurasakan hangadnya pelukan mamahhh.

22 November 2009 - 13:14 WIB By : atanotonogoro

DUKA APRIL

Senin, 25 April 2011
Aku melihat semburat luka di matamu. Walau aku tahu kamu berusaha menutupinya, tapi kamu tidak akan bisa menyembunyikannya dariku.

April Tahun ini.
Rhe … saat ini aku berdiri di hadapanmu. Kamu pasti tahu, tidak banyak perubahan yang terjadi padaku. Aku masih Lies yang dulu. Lies yang masih terus mencintai kamu, terus mendambakan kamu. Lies yang selalu menghormati semua keputusan kamu.
Rhe … setahun yang lalu kita masih bersama. Tiap aku memandangmu, selalu aku merasakan sebuah kedamaian. Aku temukan keteduhan di matamu, walau saat itu aku belum berani mengatakan betapa aku mencintai kamu. Andai saja saat itu aku berani mengungkapkan …
Kamu masih ingat, Rhe? Nama kita pernah berkibar di Blantika Musik Indonesia sejak kita solid bergabung dalam group band ‘Alami’, album perdana kita menembus angka penjualan lebih dari satu juta copy hanya dalam waktu dua bulan saja. Kehadiran kamu sebagai vokalis pernah begitu dipuja oleh para remaja. Aku sebagai pemegang keyboard merasa bangga, saat mereka meneriakkan namamu tanpa henti. Memuja band kita. Tapi semuanya berubah Rhe … semua berubah saat kamu mulai mengenal dunia gemerlap malam dan obat-obatan terlarang.
Padahal Rhe yang aku kenal pertama kali adalah orang desa yang lugu, anak petani yang menginginkan sebuah keberhasilan di kota besar.
“Sorry Rhe. Kami sudah buat kesepakatan, selama ini kami selalu memberi kesempatan pada elo untuk berubah, keluar dari jaring obat-obatan. Tapi rupanya elo tidak bisa lagi memegang kepercayaan yang kami berikan. Dengan terpaksa kami harus mengeluarkan elo dari group kita,” ucap Aldo saat itu. Aku bisa melihat wajah piasmu, Rhe … aku melihatnya dengan jelas.
“Kalian nggak bisa begitu saja mendepak gue dari group ini. Bagaimanapun juga gue ikut andil dalam pendirian group ini sampai group ini besar dan diperhitungkan di industri musik!” Nada bicaramu tinggi, Rhe, memperlihatkan kalau kamu tidak bisa menahan amarah yang meluap dalam hatimu. Aku memahamimu …
“Ini bukan masalah kecil, Rhe. Elo pemakai, dan kami ingin group ini tetap bersih,” Desi ikut berbicara.
Aku melihat semburat luka di matamu. Walau aku tahu kamu berusaha menutupinya, tapi kamu tidak akan bisa menyembunyikannya dariku.
“Kami tidak menutup kesempatan kalau elo mau balik ke sini. Tapi setelah elo bener-bener sembuh,” tutur Ozi menimpali.
Setelah itu kamu keluar begitu saja dengan langkah lebarmu. Kamu tahu, Rhe? Aku mencoba membelamu, tapi apa yang kudapat saat itu?
“Setidaknya kita bisa beri dia kesempatan. Siapa tahu dia masih bisa memperbaiki dirinya!”
“Kita sudah berkali-kali kasih kesempatan pada dia, Lies.
Tapi apa buktinya? Dia tetap saja seperti itu,” Aldo tetap bersikeras.
“Tapi …”
“Kamu bisa ikut keluar dari group ini kalau masih saja membela dia!” Maaf … aku kalah Rhe. Aku sama sekali tidak bisa membelamu.
Malam itu aku langsung meluncur ke tempat kontrakanmu. Aku berharap kita bisa bicara dari hati ke hati, agar kamu tidak menyimpan pikiran buruk tentangku. Aku melihat wajahmu begitu terkejut, saat tahu akulah yang saat itu berdiri di hadapanmu.
“Rhe … gue ingin meluruskan masalah.” Kamu hanya menunduk tanpa mau menatapku, mencoba menutupi wajah kuyumu. Kamu hanya membuka pintu sedikit, membiarkanku terus berdiri di luar. Padahal saat itu udara di luar begitu dingin. Tiba-tiba aku mendengar suara laki-laki yang memanggilmu dengan keras, seolah tidak suka dengan kehadiranku.
“Rhe … jangan terlalu lama! Katanya kita mau coba barang baru,” ucapnya. Aku terbelalak tak percaya saat mendengarnya. Kamu terlihat gugup saat kutatap matamu dengan tajam. Jangan kamu pikir aku bodoh, Rhe. Aku tahu barang apa yang dia maksudkan. Kamu masih mengonsumsi barang-barang setan itu. kamu bohong! Kamu tidak sungguh-sungguh saat mengatakan ingin memperbaiki hidupmu.
“Pikiran gue tentang elo salah, Rhe. Ternyata elo memang pantas hengkang dari group kami! Kamu tidak pantas bergabung dengan group kami yang bersih!” ucapku saat itu begitu dalam. Aku kecewa padamu, sungguh kecewa Tapi sungguh, Rhe!
mengingatkan bahwa kehidupan yang kamu jalani saat itu adalah kehidupan yang akan menghancurkanmu kelak, dan aku tidak menginginkan hal itu terjadi padamu.
“Maafkan aku, Rhe …” gumamku. Namun hanya telingaku yang bisa mendengarnya. Aku meninggalkanmu, dengan mencoba menahan dingin yang semakin menggigit.

April tahun ini.
Kini aku berdiri tepat di hadapanmu. Walau aku tahu aku tak mungkin lagi bisa memilikimu. Aku ingat ceritamu. Kamu pernah bicara padaku kalau suatu saat nanti kamu ingin mengajakku ke daerah asalmu. Ah Rhe … semua itu kini hanya jadi impianku. Walau waktu terus berputar tapi kenangan akan dirimu terus mengalir dalam benakku. Betapa ingin aku terus mengingatnya, agar aku tak akan pernah lupa betapa kamu pernah mengisi lembar hatiku.
Malam itu saat group band kami latihan, kamu datang. Kamu bilang akan meninggalkan obat-obatan terlarang dan ingin kembali pada kami, untuk mengulang kembali kesuksesan yang pernah kita raih. Tapi sayang … saat itu kami sudah mendapatkan penggantimu. Kamu marah saat itu, kamu merasa dikhianati. Aku tak bisa membantu, aku kalah. Maafkan aku Rhe! Sungguh bukan itu keinginanku. Kalaupun aku bisa, aku ingin sekali membantumu.
Malamnya kamu menemuiku, kamu tumpahkan seluruh ganjalan di hatimu. Aku tahu … aku sangat tahu kamu sudah terlanjur terjebak dalam pergaulan bebas yang membuat hidupmu berantakan. Aku tahu luka hatimu Rhe, memang … hidup di kota besar se-metropolitan Jakarta itu tidaklah mudah.
Sayang … waktu tidak akan pernah bisa kembali. Waktu akan terus berjalan, terus menapak dan menggantikan hari-hari yang telah lalu, yang mungkin penuh dengan kesuraman. Dan kita pasti akan selalu diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memperbaiki kesalahan kita di masa lalu, menggantinya dengan hari yang lebih indah. Percayalah aku ikut terluka, Rhe. Aku turut merasakan betapa kecewanya dirimu. Aku benci pada diriku sendiriku, mengapa tidak bisa membuatmu tersenyum penuh kedamaian. Dan pagi itu 13 April 2005 aku mendengar beritamu. Berita kematianmu …
Rhe … kenapa kamu harus pergi dengan cara seperti itu? Kamu terlalu tergantung pada obat perusak itu hingga harus mengalami overdosis. Aku benci obat-obatan terkutuk itu! Yang telah membuatmu pergi dari diriku. Aku membaca suratmu, Rhe. Kamu katakan, betapa kamu kecewa karena setelah kamu benar-benar ingin memperbaiki dirimu, tak ada lagi orang yang mempercayaimu. Tapi kamu percaya Rhe, aku tetap mempercayai kamu sepenuhnya. Aku percaya kalau kamu benar-benar ingin memperbaiki kehidupan kelammu menjandi kehidupan yang lebih putih.
Rhe … apakah kamu tahu?

Aku begitu menyesali kebodohanku. Seharusnya aku bisa terus membelamu dan mempertahankan keberadaan kamu dalam group kita, tapi nyatanya aku sama sekali tidak bisa melakukan hal yang semestinya aku lakukan.

April tahun ini.
Rhe … setelah satu tahun berlalu, kini aku berdiri di hadapanmu. Tapi aku merasa hampa. Tak tahukah kamu, Rhe? Kini aku berada di kotamu. Yogya yang selalu kamu banggakan dengan keindahan alamnya. Aku ingin mendekapmu dalam pelukanku dan memberikan semua kedamaian yang aku punya dan kebahagiaan yang aku punya. Semua hanya untukmu, Rhe. Tapi aku tahu itu tidak mungkin lagi terjadi, Karena kini hanya pusaramu yang ada di hadapanku. Kupandang batu nisanmu. Nama ‘Rheina Yarkasi’ telah melekat di ingatanku dan akan terus seperti itu.
Setetes air bening mengalir dari sudut pipiku. Untuk kedua kalinya aku menangis untukmu. Setelah kematianmu setahun yang lalu. Dan saat ini, saat aku kembali datang untukmu. aku hanya bisa berharap dan berdoa, meminta pada Tuhan agar kamu mendapatkan kabahagiaan di sisi-Nya. Berbahagialah Rhe … hanya itu harapanku. Semoga Tuhan mengampuni semua kesalahanmu.
Rhe … aku ingin kamu tahu. Betapa aku mencintaimu, merindukanmu dan akan terus seperti itu. Walau hanya selintas bayang, itu cukup membuatku merasakan betapa kasihmu terus menyelimuti hatiku. Aku memang mencintaimu, Rhe. Dan akan tetap seperti itu.


Oleh Muktiar Selawati