Bobby

Kamis, 26 Mei 2011

Sanggatlah tepat kalau Bobby memilih untuk berbagi dengan Lee buat urusan cintanya dengan Fina. Karena kerahasiaannya sudah dapat dijamin.

Panas terik pukul dua siang seperti ini adalah jam yang paling tepat untuk tidur siang. Kalau bukan untuk mendapatkan kembali perhatian dari Fina, juga kalau bukan karena seminggu lagi tim basket sekolahnya akan menjadi tuan rumah Perempat
Final Competisi basket antarsekolah, mungkin Bobby akan memilih pulang. Ditambah cedera lutut kanannya yang belum sembuh benar akibat latihan tiga hari lalu, sedikit banyak membuat Bobby setengah hati mengawali latihan hari ini.
Bobby masih sibuk dengan isi lokernya.
“Gimana dengan lutut lu...” tanya Lee, setelah sekian detik melihat raut mukasobatnya sesekali meringis menahan sakit.
Bobby melirik Lee sejenak, playmaker handalan tim basketnya itu ternyata sudah siap dengan kostum latihannya.
“Lumayan, thanks.” Bobby kembali sibuk dengan isi lokernya.
“Kalau memang masih sakit, mendingan absen dulu.”
Bobby cuma nyengir.
“Jangan dipaksain,” sambung Lee.
“No problem....”
“ Baguslah....” Lee menepuk bahu sobatnya sambil berlari kecil memasuki hall basket. Bobby menyusul dari belakang.

Bobby sempat melirik sederetan tim penari sorak duduk di pinggir lapangan yang siang ini juga ikut latihan. Ia menemukan sosok Fina, di antaranya, karena hanya itulah yang menyemangatinya untuk tetap latihan hari ini.
Andai saja hubungannya dengan Fina masih sehangat sebelum keputusan yang diambil Fina satu bulan lalu, pasti Bobby sudah berada di dekatnya seperti pada latihan-latihan sebelumnya. Bobby melihat, Fina tengah tertawa renyah dengan teman-teman sesama cheerleaders. Senyum manis itu... Bobby kembali melayang, tapi tiba-tiba
bola basket mendarat tepat didadanya.
“Ayo latihan.... Jadi jalangkung lu kalau kelamaan bengong,” Lee cekikikan.Spontan Bobby menangkap bola dan langsung men-dribble ke tengah lapangan. Sudah dua kali ini Bobby memilih mampir di rumah Lee, selepas latihan basket.
Atau tepatnya hampir satu bulan ini ketika Fina memutuskan meminta waktu untuk menata kembali hubungan pacaran yang masih berumur lima bulan tanpa alasan, Bobby lebih sering curhat sama Lee. Sampai detik ini ia masih belum habis pikir kenapa
Fina memutuskan untuk menolak buat diajak ketemu, menolak buat diajak pulang atau jalan bareng. Untuk saat ini Bobby masih mencoba menerima keputusan Fina yang juga menolak untuk berkomunikasi lewat telepon atau SMS sekalipun.

Sore ini, begitu Lee membuka pintu kamar, Bobby langsung melempar tubuhnya di atas tempat tidur. Lee melepas kostum basketnya, membuka sebotol air mineral yang diambilnya dari kulkas sebelum masuk ke kamar, meminumnya hingga hampir tandas
separuh. Kemudian mulai asyik dengan PS Soccer-nya. Begitulah Lee, meski tahu betul Bobby sedang bermasalah, ia nggak mau melibatkan diri sebelum Bobby memulai. Sanggatlah tepat kalau Bobby memilih untuk berbagi dengan Lee buat urusan cintanya dengan Fina. Karena kerahasiaannya sudah dapat dijamin, Lee memang paling terkenal nyaris tanpa suara alias diem tau tepatnya irit omongan.
“Bagi dong minumnya,” Bobby bangun dari rebahannya dan berjalan agak sempoyongan
menyambar botol air mineral lalu meminum airnya. Kini Bobby merasa lebih segar. Lee masih asyik dengan PS Soccer-nya.
“Lee, gue masih nggak tahu jalan pikiran Fina,” Bobby mulai berkeluh kesah.
“Jalan nggak, jomblo juga nggak...,” kata Bobby sambil menarik napas berat.
“Pikirian cewek kadang sulit ditebak, Bob,” Lee mengecilkan suara PS-nya.
“Besok Fina mau ngajakin ketemu...”
“Lantas...”

“Gue belum siap dengan apa yang akan diputuskan Fina.”
“Gue nggak terlalu banyak tahu soal cinta. Hanya, yang gue tahu, gue akan merasa kesepian banget saat cinta itu hilang,” Lee mulai menghentikan PS Soccer-nya.
“Kalau gue boleh bilang... pacaran itu kayak waktu kita lagi maen layang-layang. Jangan diulur terlalu panjang, juga jangan ditarik terlalu kuat. Kalau gue jadi lu... bukan lu yang harus nunggu keputusan Fina, tapi lu yang harus bisa ngambil keputusan.”
Bobby menarik napas panjang, keningnya berkerut beberapa baris.
“Maksud lu...”
“Fina melakukan itu pasti ada sebabnya. Apa pun penyebabnya, introspeksi diri kayaknya yang terpenting. Kalau hanya menghindar nggak mau ketemu atau nggak mau ditelepon, nggak bakal ada jalan keluarnya.”
“Ngerti.... Trus gue harus gimana?”
“Siap-siap aja jadi jomblo,” jawab Lee seenaknya.
“Biar lu ada temen jomblo...” Bobby melempar bantal ke arah muka sobatnya.
Tapi Lee dengan gesit melayangkan tangannya untuk menangkap bantal itu.
“Tahu kenapa sampai saat ini gue masih jomblo? Karena gue mau cari cewek yang mau mencintai gue bukan guenya yang mencintai.... Jadi kalau nantinya bubar, gue nggak merengek- rengek kayak lu,” Lee ngakak.

“Jadi lu lebih seneng kalau gue bubaran....”
Kali ini Lee nggak bisa menghindar ketika Bobby langsung mengacak-acak rambutnya. Dan keduanya larut dalam pembicaraan yang lain Usai latihan terakhir, Bobby bergegas meninggalkan hall basket dan menuju loker, merapikan isi tas. Sejenak Bobby masih menata debaran dadanya, pandangannya masih sedikit berputar, dan keputusan Fina atau tepatnya kejujuran yang sudah diceritakan selepas latihan tadi masih berdengung di kupingnya.
“Gue minta maaf, Bob, bukan berarti gue mempermainkan perasaan lu.... Dari pertama gue sudah merasa simpati sama lu. Makanya waktu lu nyatain perasaan cinta sama gue, gue nggak bisa nolak. Karena gue pikir, seiring dengan berjalannya waktu nantinya gue bisa mencintai lu.
Tapi nyatanya gue nggak bisa merasa berbunga-bunga saat berduaan, begitu juga ketika ngobrol berjam-jam, sama saat gue ngedapetin kiriman SMS yang begitu romantis, yang seharusnya bisa bikin hati gue berdesir.... Gue gak bisa ngerasain
itu. Juga waktu gue minta break sementara waktu buat nggak ketemu atau telepon... gue nggak merasakan ada rasa kangen, Bob. Sekarang gue sadar, simpati aja kayaknya belum cukup buat membangun hubungan pacaran.

Gue pikir... gue nggak bisa terus-terusan ngebohongi perasaan gue, terlebih sama lu. Gue tahu, ini nggak adil buat elu, Bob. Gue nggak mau kebohongan ini semakin berlarut....”
Oh God, Bobby nggak sanggup lagi untuk mengingat-ingat apa yang diucapkan Fina.
Dan yang dirasakan saat ini, kepalanya makin berdenyut. Menarik napas kuat-kuat dan mencoba mengumpulkan segenap tenaganya untuk bisa pulang ke rumah dengan berjalan tegap. Dan membangun semangatnya untuk bisa menghadapi kompetisi basket besuk sore.
Benar apa yang dibilang Lee, dicintai memang lebih menyenangkan daripada harus mencintai.
Kadang kejujuran memang menyakitkan. Tapi Bobby harus berusaha melewatinya. Kompetisi basket sudah di depan mata, ia ingin membuktikan, tim basketnya bisa masuk final....

0 komentar:

Posting Komentar