DUKA APRIL

Senin, 25 April 2011
Aku melihat semburat luka di matamu. Walau aku tahu kamu berusaha menutupinya, tapi kamu tidak akan bisa menyembunyikannya dariku.

April Tahun ini.
Rhe … saat ini aku berdiri di hadapanmu. Kamu pasti tahu, tidak banyak perubahan yang terjadi padaku. Aku masih Lies yang dulu. Lies yang masih terus mencintai kamu, terus mendambakan kamu. Lies yang selalu menghormati semua keputusan kamu.
Rhe … setahun yang lalu kita masih bersama. Tiap aku memandangmu, selalu aku merasakan sebuah kedamaian. Aku temukan keteduhan di matamu, walau saat itu aku belum berani mengatakan betapa aku mencintai kamu. Andai saja saat itu aku berani mengungkapkan …
Kamu masih ingat, Rhe? Nama kita pernah berkibar di Blantika Musik Indonesia sejak kita solid bergabung dalam group band ‘Alami’, album perdana kita menembus angka penjualan lebih dari satu juta copy hanya dalam waktu dua bulan saja. Kehadiran kamu sebagai vokalis pernah begitu dipuja oleh para remaja. Aku sebagai pemegang keyboard merasa bangga, saat mereka meneriakkan namamu tanpa henti. Memuja band kita. Tapi semuanya berubah Rhe … semua berubah saat kamu mulai mengenal dunia gemerlap malam dan obat-obatan terlarang.
Padahal Rhe yang aku kenal pertama kali adalah orang desa yang lugu, anak petani yang menginginkan sebuah keberhasilan di kota besar.
“Sorry Rhe. Kami sudah buat kesepakatan, selama ini kami selalu memberi kesempatan pada elo untuk berubah, keluar dari jaring obat-obatan. Tapi rupanya elo tidak bisa lagi memegang kepercayaan yang kami berikan. Dengan terpaksa kami harus mengeluarkan elo dari group kita,” ucap Aldo saat itu. Aku bisa melihat wajah piasmu, Rhe … aku melihatnya dengan jelas.
“Kalian nggak bisa begitu saja mendepak gue dari group ini. Bagaimanapun juga gue ikut andil dalam pendirian group ini sampai group ini besar dan diperhitungkan di industri musik!” Nada bicaramu tinggi, Rhe, memperlihatkan kalau kamu tidak bisa menahan amarah yang meluap dalam hatimu. Aku memahamimu …
“Ini bukan masalah kecil, Rhe. Elo pemakai, dan kami ingin group ini tetap bersih,” Desi ikut berbicara.
Aku melihat semburat luka di matamu. Walau aku tahu kamu berusaha menutupinya, tapi kamu tidak akan bisa menyembunyikannya dariku.
“Kami tidak menutup kesempatan kalau elo mau balik ke sini. Tapi setelah elo bener-bener sembuh,” tutur Ozi menimpali.
Setelah itu kamu keluar begitu saja dengan langkah lebarmu. Kamu tahu, Rhe? Aku mencoba membelamu, tapi apa yang kudapat saat itu?
“Setidaknya kita bisa beri dia kesempatan. Siapa tahu dia masih bisa memperbaiki dirinya!”
“Kita sudah berkali-kali kasih kesempatan pada dia, Lies.
Tapi apa buktinya? Dia tetap saja seperti itu,” Aldo tetap bersikeras.
“Tapi …”
“Kamu bisa ikut keluar dari group ini kalau masih saja membela dia!” Maaf … aku kalah Rhe. Aku sama sekali tidak bisa membelamu.
Malam itu aku langsung meluncur ke tempat kontrakanmu. Aku berharap kita bisa bicara dari hati ke hati, agar kamu tidak menyimpan pikiran buruk tentangku. Aku melihat wajahmu begitu terkejut, saat tahu akulah yang saat itu berdiri di hadapanmu.
“Rhe … gue ingin meluruskan masalah.” Kamu hanya menunduk tanpa mau menatapku, mencoba menutupi wajah kuyumu. Kamu hanya membuka pintu sedikit, membiarkanku terus berdiri di luar. Padahal saat itu udara di luar begitu dingin. Tiba-tiba aku mendengar suara laki-laki yang memanggilmu dengan keras, seolah tidak suka dengan kehadiranku.
“Rhe … jangan terlalu lama! Katanya kita mau coba barang baru,” ucapnya. Aku terbelalak tak percaya saat mendengarnya. Kamu terlihat gugup saat kutatap matamu dengan tajam. Jangan kamu pikir aku bodoh, Rhe. Aku tahu barang apa yang dia maksudkan. Kamu masih mengonsumsi barang-barang setan itu. kamu bohong! Kamu tidak sungguh-sungguh saat mengatakan ingin memperbaiki hidupmu.
“Pikiran gue tentang elo salah, Rhe. Ternyata elo memang pantas hengkang dari group kami! Kamu tidak pantas bergabung dengan group kami yang bersih!” ucapku saat itu begitu dalam. Aku kecewa padamu, sungguh kecewa Tapi sungguh, Rhe!
mengingatkan bahwa kehidupan yang kamu jalani saat itu adalah kehidupan yang akan menghancurkanmu kelak, dan aku tidak menginginkan hal itu terjadi padamu.
“Maafkan aku, Rhe …” gumamku. Namun hanya telingaku yang bisa mendengarnya. Aku meninggalkanmu, dengan mencoba menahan dingin yang semakin menggigit.

April tahun ini.
Kini aku berdiri tepat di hadapanmu. Walau aku tahu aku tak mungkin lagi bisa memilikimu. Aku ingat ceritamu. Kamu pernah bicara padaku kalau suatu saat nanti kamu ingin mengajakku ke daerah asalmu. Ah Rhe … semua itu kini hanya jadi impianku. Walau waktu terus berputar tapi kenangan akan dirimu terus mengalir dalam benakku. Betapa ingin aku terus mengingatnya, agar aku tak akan pernah lupa betapa kamu pernah mengisi lembar hatiku.
Malam itu saat group band kami latihan, kamu datang. Kamu bilang akan meninggalkan obat-obatan terlarang dan ingin kembali pada kami, untuk mengulang kembali kesuksesan yang pernah kita raih. Tapi sayang … saat itu kami sudah mendapatkan penggantimu. Kamu marah saat itu, kamu merasa dikhianati. Aku tak bisa membantu, aku kalah. Maafkan aku Rhe! Sungguh bukan itu keinginanku. Kalaupun aku bisa, aku ingin sekali membantumu.
Malamnya kamu menemuiku, kamu tumpahkan seluruh ganjalan di hatimu. Aku tahu … aku sangat tahu kamu sudah terlanjur terjebak dalam pergaulan bebas yang membuat hidupmu berantakan. Aku tahu luka hatimu Rhe, memang … hidup di kota besar se-metropolitan Jakarta itu tidaklah mudah.
Sayang … waktu tidak akan pernah bisa kembali. Waktu akan terus berjalan, terus menapak dan menggantikan hari-hari yang telah lalu, yang mungkin penuh dengan kesuraman. Dan kita pasti akan selalu diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memperbaiki kesalahan kita di masa lalu, menggantinya dengan hari yang lebih indah. Percayalah aku ikut terluka, Rhe. Aku turut merasakan betapa kecewanya dirimu. Aku benci pada diriku sendiriku, mengapa tidak bisa membuatmu tersenyum penuh kedamaian. Dan pagi itu 13 April 2005 aku mendengar beritamu. Berita kematianmu …
Rhe … kenapa kamu harus pergi dengan cara seperti itu? Kamu terlalu tergantung pada obat perusak itu hingga harus mengalami overdosis. Aku benci obat-obatan terkutuk itu! Yang telah membuatmu pergi dari diriku. Aku membaca suratmu, Rhe. Kamu katakan, betapa kamu kecewa karena setelah kamu benar-benar ingin memperbaiki dirimu, tak ada lagi orang yang mempercayaimu. Tapi kamu percaya Rhe, aku tetap mempercayai kamu sepenuhnya. Aku percaya kalau kamu benar-benar ingin memperbaiki kehidupan kelammu menjandi kehidupan yang lebih putih.
Rhe … apakah kamu tahu?

Aku begitu menyesali kebodohanku. Seharusnya aku bisa terus membelamu dan mempertahankan keberadaan kamu dalam group kita, tapi nyatanya aku sama sekali tidak bisa melakukan hal yang semestinya aku lakukan.

April tahun ini.
Rhe … setelah satu tahun berlalu, kini aku berdiri di hadapanmu. Tapi aku merasa hampa. Tak tahukah kamu, Rhe? Kini aku berada di kotamu. Yogya yang selalu kamu banggakan dengan keindahan alamnya. Aku ingin mendekapmu dalam pelukanku dan memberikan semua kedamaian yang aku punya dan kebahagiaan yang aku punya. Semua hanya untukmu, Rhe. Tapi aku tahu itu tidak mungkin lagi terjadi, Karena kini hanya pusaramu yang ada di hadapanku. Kupandang batu nisanmu. Nama ‘Rheina Yarkasi’ telah melekat di ingatanku dan akan terus seperti itu.
Setetes air bening mengalir dari sudut pipiku. Untuk kedua kalinya aku menangis untukmu. Setelah kematianmu setahun yang lalu. Dan saat ini, saat aku kembali datang untukmu. aku hanya bisa berharap dan berdoa, meminta pada Tuhan agar kamu mendapatkan kabahagiaan di sisi-Nya. Berbahagialah Rhe … hanya itu harapanku. Semoga Tuhan mengampuni semua kesalahanmu.
Rhe … aku ingin kamu tahu. Betapa aku mencintaimu, merindukanmu dan akan terus seperti itu. Walau hanya selintas bayang, itu cukup membuatku merasakan betapa kasihmu terus menyelimuti hatiku. Aku memang mencintaimu, Rhe. Dan akan tetap seperti itu.


Oleh Muktiar Selawati

0 komentar:

Posting Komentar