Ketika Kami Tak Cocok Lagi

Minggu, 29 Mei 2011

Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan yang hangat yang muncul ketika saya bersender di bahunya yang bidang. Tiga tahun dalam masa kenalan dan bercumbu, sampai sekarang, dua tahun dalam masa pernikahan, harus saya akui, saya mulai merasa lelah dengan semua itu.

Alasan saya mencintainya pada waktu dulu, telah berubah menjadi sesuatu yang melelahkan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak kecil yang menginginkan permen. Dan suami saya bertolak belakang dari saya, rasa sensitifnya kurang, dan ketidakmampuannya untuk menciptakan suasana yang romantis di dalam pernikahan kami telah mematahkan harapan saya tentang cinta.

Suatu hari, akhirnya saya memutuskan untuk mengatakan keputusan saya kepadanya. Saya menginginkan perceraian.

“Mengapa?” dia bertanya dengan terkejut.

“Saya lelah. Terlalu banyak alasan yang ada di dunia ini,” jawab saya.

Dia terdiam dan termenung sepanjang malam dengan rokok yang tidak putus-putusnya. Kekecewaan saya semakin bertambah. Seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang saya bisa harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya, “Apa yang dapat saya lakukan untuk mengubah pikiranmu?”

Seseorang berkata, mengubah kepribadian orang lain sangatlah sulit, dan itu benar. Saya pikir, saya mulai kehilangan kepercayaan bahwa saya bisa mengubah pribadinya. Saya menatap dalam-dalam matanya dan menjawab dengan pelan, “Saya punya pertanyaan untukmu. Jika kamu dapat menemukan jawabannya yang ada di dalam hati saya, mungkin saya akan mengubah pikiran. Seandainya, katakanlah saya menyukai setangkai bunga yang ada di tebing gunung, dan kita berdua tahu, jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?”

Dia berkata, “Saya akan memberikan jawabannya besok.”

Hati saya langsung gundah mendengar responnya. Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya melihat selembar kertas dengan coret-coretan tangannya, di bawah sebuah gelas yang berisi susu hangat, yang bertuliskan:

“Sayang, Saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu. Tetapi izinkan saya untuk menjelaskan alasannya.”

Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya mencoba untuk kuat melanjutkan membacanya kembali…

“Kamu hanya bisa mengetik di komputer dan selalu mengacaukan program di PC-nya dan akhirnya menangis di depan monitor. Lalu saya harus memberikan jari-jari saya untuk memperbaiki programnya.

“Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan saya harus memberikan kaki saya supaya bisa masuk mendobrak rumah, membukakan pintu untukmu.

“Kamu suka jalan-jalan ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi: saya harus memberikan mata untuk mengarahkanmu.

“Kamu selalu pegal-pegal pada waktu ‘tamu’ kamu datang setiap bulannya: saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kakimu yang pegal.

“Kamu senang diam di dalam rumah, dan saya kuatir kamu akan jadi ‘aneh’. Lalu saya harus memberikan mulut saya untuk menceritakan lelucon dan cerita-cerita untuk menyembuhkan kebosananmu.

“Kamu selalu menatap komputer dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu. Saya harus menjaga mata saya sehingga ketika nanti kita tua, saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu. Saya akan memegang tanganmu, menelusuri pantai, menikmati sinar matahari dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga kepadamu yang bersinar seperti wajah cantikmu….

“Juga sayangku, saya begitu yakin ada banyak orang yang mencintaimu lebih dari cara saya mencintaimu. Tapi saya tidak akan mengambil bunga itu lalu mati….”

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur dan saya membaca kembali…

“Dan sekarang sayangku, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri di sana dengan susu segar dan roti kesukaanmu….”

Saya segera membuka pintu dan melihat wajahnya yang dulu sangat saya cintai. Dia begitu penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti. Saya tidak kuat lagi dan langsung memeluknya dan rebah di bahunya yang bidang sambil menangis….

Bobby

Kamis, 26 Mei 2011

Sanggatlah tepat kalau Bobby memilih untuk berbagi dengan Lee buat urusan cintanya dengan Fina. Karena kerahasiaannya sudah dapat dijamin.

Panas terik pukul dua siang seperti ini adalah jam yang paling tepat untuk tidur siang. Kalau bukan untuk mendapatkan kembali perhatian dari Fina, juga kalau bukan karena seminggu lagi tim basket sekolahnya akan menjadi tuan rumah Perempat
Final Competisi basket antarsekolah, mungkin Bobby akan memilih pulang. Ditambah cedera lutut kanannya yang belum sembuh benar akibat latihan tiga hari lalu, sedikit banyak membuat Bobby setengah hati mengawali latihan hari ini.
Bobby masih sibuk dengan isi lokernya.
“Gimana dengan lutut lu...” tanya Lee, setelah sekian detik melihat raut mukasobatnya sesekali meringis menahan sakit.
Bobby melirik Lee sejenak, playmaker handalan tim basketnya itu ternyata sudah siap dengan kostum latihannya.
“Lumayan, thanks.” Bobby kembali sibuk dengan isi lokernya.
“Kalau memang masih sakit, mendingan absen dulu.”
Bobby cuma nyengir.
“Jangan dipaksain,” sambung Lee.
“No problem....”
“ Baguslah....” Lee menepuk bahu sobatnya sambil berlari kecil memasuki hall basket. Bobby menyusul dari belakang.

Bobby sempat melirik sederetan tim penari sorak duduk di pinggir lapangan yang siang ini juga ikut latihan. Ia menemukan sosok Fina, di antaranya, karena hanya itulah yang menyemangatinya untuk tetap latihan hari ini.
Andai saja hubungannya dengan Fina masih sehangat sebelum keputusan yang diambil Fina satu bulan lalu, pasti Bobby sudah berada di dekatnya seperti pada latihan-latihan sebelumnya. Bobby melihat, Fina tengah tertawa renyah dengan teman-teman sesama cheerleaders. Senyum manis itu... Bobby kembali melayang, tapi tiba-tiba
bola basket mendarat tepat didadanya.
“Ayo latihan.... Jadi jalangkung lu kalau kelamaan bengong,” Lee cekikikan.Spontan Bobby menangkap bola dan langsung men-dribble ke tengah lapangan. Sudah dua kali ini Bobby memilih mampir di rumah Lee, selepas latihan basket.
Atau tepatnya hampir satu bulan ini ketika Fina memutuskan meminta waktu untuk menata kembali hubungan pacaran yang masih berumur lima bulan tanpa alasan, Bobby lebih sering curhat sama Lee. Sampai detik ini ia masih belum habis pikir kenapa
Fina memutuskan untuk menolak buat diajak ketemu, menolak buat diajak pulang atau jalan bareng. Untuk saat ini Bobby masih mencoba menerima keputusan Fina yang juga menolak untuk berkomunikasi lewat telepon atau SMS sekalipun.

Sore ini, begitu Lee membuka pintu kamar, Bobby langsung melempar tubuhnya di atas tempat tidur. Lee melepas kostum basketnya, membuka sebotol air mineral yang diambilnya dari kulkas sebelum masuk ke kamar, meminumnya hingga hampir tandas
separuh. Kemudian mulai asyik dengan PS Soccer-nya. Begitulah Lee, meski tahu betul Bobby sedang bermasalah, ia nggak mau melibatkan diri sebelum Bobby memulai. Sanggatlah tepat kalau Bobby memilih untuk berbagi dengan Lee buat urusan cintanya dengan Fina. Karena kerahasiaannya sudah dapat dijamin, Lee memang paling terkenal nyaris tanpa suara alias diem tau tepatnya irit omongan.
“Bagi dong minumnya,” Bobby bangun dari rebahannya dan berjalan agak sempoyongan
menyambar botol air mineral lalu meminum airnya. Kini Bobby merasa lebih segar. Lee masih asyik dengan PS Soccer-nya.
“Lee, gue masih nggak tahu jalan pikiran Fina,” Bobby mulai berkeluh kesah.
“Jalan nggak, jomblo juga nggak...,” kata Bobby sambil menarik napas berat.
“Pikirian cewek kadang sulit ditebak, Bob,” Lee mengecilkan suara PS-nya.
“Besok Fina mau ngajakin ketemu...”
“Lantas...”

“Gue belum siap dengan apa yang akan diputuskan Fina.”
“Gue nggak terlalu banyak tahu soal cinta. Hanya, yang gue tahu, gue akan merasa kesepian banget saat cinta itu hilang,” Lee mulai menghentikan PS Soccer-nya.
“Kalau gue boleh bilang... pacaran itu kayak waktu kita lagi maen layang-layang. Jangan diulur terlalu panjang, juga jangan ditarik terlalu kuat. Kalau gue jadi lu... bukan lu yang harus nunggu keputusan Fina, tapi lu yang harus bisa ngambil keputusan.”
Bobby menarik napas panjang, keningnya berkerut beberapa baris.
“Maksud lu...”
“Fina melakukan itu pasti ada sebabnya. Apa pun penyebabnya, introspeksi diri kayaknya yang terpenting. Kalau hanya menghindar nggak mau ketemu atau nggak mau ditelepon, nggak bakal ada jalan keluarnya.”
“Ngerti.... Trus gue harus gimana?”
“Siap-siap aja jadi jomblo,” jawab Lee seenaknya.
“Biar lu ada temen jomblo...” Bobby melempar bantal ke arah muka sobatnya.
Tapi Lee dengan gesit melayangkan tangannya untuk menangkap bantal itu.
“Tahu kenapa sampai saat ini gue masih jomblo? Karena gue mau cari cewek yang mau mencintai gue bukan guenya yang mencintai.... Jadi kalau nantinya bubar, gue nggak merengek- rengek kayak lu,” Lee ngakak.

“Jadi lu lebih seneng kalau gue bubaran....”
Kali ini Lee nggak bisa menghindar ketika Bobby langsung mengacak-acak rambutnya. Dan keduanya larut dalam pembicaraan yang lain Usai latihan terakhir, Bobby bergegas meninggalkan hall basket dan menuju loker, merapikan isi tas. Sejenak Bobby masih menata debaran dadanya, pandangannya masih sedikit berputar, dan keputusan Fina atau tepatnya kejujuran yang sudah diceritakan selepas latihan tadi masih berdengung di kupingnya.
“Gue minta maaf, Bob, bukan berarti gue mempermainkan perasaan lu.... Dari pertama gue sudah merasa simpati sama lu. Makanya waktu lu nyatain perasaan cinta sama gue, gue nggak bisa nolak. Karena gue pikir, seiring dengan berjalannya waktu nantinya gue bisa mencintai lu.
Tapi nyatanya gue nggak bisa merasa berbunga-bunga saat berduaan, begitu juga ketika ngobrol berjam-jam, sama saat gue ngedapetin kiriman SMS yang begitu romantis, yang seharusnya bisa bikin hati gue berdesir.... Gue gak bisa ngerasain
itu. Juga waktu gue minta break sementara waktu buat nggak ketemu atau telepon... gue nggak merasakan ada rasa kangen, Bob. Sekarang gue sadar, simpati aja kayaknya belum cukup buat membangun hubungan pacaran.

Gue pikir... gue nggak bisa terus-terusan ngebohongi perasaan gue, terlebih sama lu. Gue tahu, ini nggak adil buat elu, Bob. Gue nggak mau kebohongan ini semakin berlarut....”
Oh God, Bobby nggak sanggup lagi untuk mengingat-ingat apa yang diucapkan Fina.
Dan yang dirasakan saat ini, kepalanya makin berdenyut. Menarik napas kuat-kuat dan mencoba mengumpulkan segenap tenaganya untuk bisa pulang ke rumah dengan berjalan tegap. Dan membangun semangatnya untuk bisa menghadapi kompetisi basket besuk sore.
Benar apa yang dibilang Lee, dicintai memang lebih menyenangkan daripada harus mencintai.
Kadang kejujuran memang menyakitkan. Tapi Bobby harus berusaha melewatinya. Kompetisi basket sudah di depan mata, ia ingin membuktikan, tim basketnya bisa masuk final....

SAYANG AND CINTA

“Kamu sayang aku, bukan cinta aku. Itu beda, Ly. Tapi it’s ok. Waktu akan memulihkan semuanya. Lagipula kita beda sekolah. Pasti akan lebih mudah untuk saling melupakan.”

Sedianya sore ini Ruben akan mengantarkan Lily ke rumah Andang. Pacar mungilnya yang cantik itu
ingin meminjam catatan Andang yang super rapi
karena semesteran sudah di depan mata. Sayangnya Ruben kecele. Ia tidak tahu apa maksud kepentingan
Allan yang sore itu sudah duduk manis di sofa
ruang tengah rumah Lily.
“Hai, ngapain kamu disini?” tanya Ruben. Ia
menekan suaranya agar Allan tahu kalau ia tidak
suka akan keberadaan Allan di rumah pacarnya.
Sabtu sore kok ke rumah pacar orang?
“Eh, Ben. Mau jemput Aster nih, adiknya Lily.”
Wuih, Ruben merasa lega mendengar jawaban Allan.
“Memang kamu pacaran sama Aster?” tanya Ruben
lagi. Setahu Ruben, Aster baru kelas tiga SMP.
“Emang gak boleh?” balas Allan.
Jadilah mereka mengobrol berempat di ruang tengah sebelum berangkat ke masing-masing tujuan. Ruben bukannya cemburu, tetapi melihat pandang mata Allan terhadap Lily, ia merasa Allan sebenarnya menyimpan rasa yang lain terhadap Lily.
“Aster sama Allan, apa mereka lagi pacaran?”
“Mungkin cinta monyet buat Aster, tapi gak tahu
kalau Allan,” kata Lily santai.
“Bagaimana kalau sebenarnya Allan ngincer kamu,
tapi pura-pura mendekati Aster?” tanya Allan lagi,
mirip polisi yang sedang menginterogasi penjahat.
Tanpa diminta, wajah Lily berubah warna. Pacarnya gugup. Allan merasa jantungnya berdebur aneh. Kali ini ia memang cemburu.
Inginnya Lily saat ini ia bersama Ruben.
Langit yang semakin hitam dengan tumpukan awan
yang berat bergelayutan menandakan sebentar lagi bakal turun hujan deras. Sayangnya Ruben sedang praktikum sehingga tidak bisa menjemputnya. Dan ketika Lily bimbang akan menunggu bis atau naik taksi saja, ada Allan yang sudah menjejeri langkahnya.
“Pulang?”
“Heeh.”
“Ayo, kuantar. Sekalian mau mengembalikan
buku Aster,” kata Allan menawari tumpangan.
“Tapi…”
“Ayolah, rasanya dengan motor ini kita
akan lebih cepat sampai rumahmu ketimbang menunggu bis atau taksi yang lewat.”
Mereka boncengan naik motor Allan. Dan
mereka juga kehujanan tepat dua menit sebelum
sampai rumah Lily. Mereka sama-sama basah.
“Sori, Ly. Kupikir aku bisa mengantarmu tanpa perlu membuatmu basah,” celetuk Allan.
Diseruputnya teh manis hangat, perlahan.
“Mau gimana. Namanya juga cuaca. Susah diprediksi. Tapi trims ya, setidaknya aku ngirit
ongkos siang ini.”
Ternyata Aster tidak ada di rumah. Adik
Lily itu langsung les piano sepulang sekolah.
Ingat akan perkataan Ruben beberapa waktu lalu,
Lily setengah hati menemani Allan di ruang tengah.
Bukan apa-apa, tiba-tiba saja ada yang berdesir di
seluruh permukaan kulitnya ketika menemukan Allan yang tengah menatapnya. Tatapan yang tidak biasa.
“Ly, ada yang ingin kukatakan, tapi….”
“Tentang apa, Lan?” Kembali Lily merasa
ada yang aneh dengan perasaannya sendiri.
“Tentang rindu.”
Lily masih berusaha tenang untuk mendengarkan kelanjutan ucapan Allan, namun saat itu pintu depan terbuka, menyembulkan sosok Aster yang juga kebasahan.
“Hai, udah lama? Nunggu aku ya?” Dengan
gaya kocaknya Aster menepuk punggung Allan.
Dan Lily tentu saja segera beringsut meninggalkan mereka berdua. Sambil menyimpan ucapan Allan yang terakhir untuknya.
Mereka berdua berteman akrab. Tetapi sejak
kemunculan Ruben dalam hidup Lily, segalanya
berubah. Ada jeda yang tak bisa diterjemahkan yang memisahkan keakraban mereka. Rasanya sejak ada Ruben, mereka nyaris tidak pernah saling bersentuhan lagi. Lily takut Ruben tersinggung.
Allan takut Ruben cemburu. Padahal dulu, mereka
begitu dekat satu sama lain dalam ikatan persahabatan.
“Apa keistimewaan Ruben untuk kamu?”
Begitulah pertanyaan Allan ketika Lily
memutuskan untuk menerima Ruben sebagai pacar. Ia tak berani menganggap tanya itu sebagai bentuk kecemburuan. Bukankah mereka hanya bersahabat. “Yaahh, dia baik, Lan.”
“Hanya itu?”
“Dia… dia… berani mengungkapkan
perasaannya padaku dengan jujur.”
Sejak itulah mereka tidak bersama lagi. Tetapi setelah beberapa waktu, tiba-tiba saja Allan mulai hadir kembali di rumah Lily. Bukan untuk menjumpainya. Ia hadir untuk Aster, adik Lily. Dan melihat keakraban mereka, Lily merasa perasaannya terombang-ambing. Ia yakin tidak salah memilih Ruben. Namun, melihat Allan yang amat care terhadap Aster, Lily merasa jiwanya terbelah.
“As, kamu pacaran sama Allan ya?”
“Emang kenapa, Kak? Gak boleh?” balas Aster.
Mereka sedang nonton DVD berdua di kamar Lily.
Brad Pitt yang sedang berlaga dalam Troy berubah menjadi sosok Allan dalam penglihatan Lily. Wuih, kenapa bukan menjelma menjadi Ruben?
“Gak apa.”
“Kak, akhir-akhir ini kok Kakak lebih sering
ngelamun. Mikirin Ruben atau Allan?”
Tembakan itu begitu jitu. Mengena di jantung Lily.
Ia merasa punggungnya amat panas lantaran jengah. Sementara Aster sendiri tidak mengalihkan pandang dari film yang ditontonnya.
“Eh, kenapa kamu ngomong begitu?”
Barulah Aster menengok. “
Yah, feeling aja. Kayaknya Allan menganggap Kakak bukan sebagai sahabat, tapi pacar yang bertepuk sebelah tangan.”
“Ah, masa. Dia kan tau kalau aku udah pacaran sama Ruben.”
“O, ya? Terus kenapa Ruben tidak datang-datang
selama tiga pekan ini?” “Memang itu urusan kamu?” balas Lily merasa
tersudut. Aster memang benar, Ruben tidak muncul
karena sedang marah. Marah karena akhirnya tahu
kalau Lily pulang berboncengan dengan Allan. Marah karena Lily tidak jujur menceritakan hal itu dan Ruben tahu dari orang lain. Padahal Lily merasa hal itu tidak perlu terlalu dibesar-besarkan.
“Kami… lagi gencatan senjata,” lanjut Lily.
“Bakal putus dong.”
“Aster! Kamu kok ngomongnya begitu sih.”
Adiknya hanya mengedikkan bahu dan kembali
asyik menonton Troy.
Tidak mudah melupakan Ruben. Mereka selalu
bersama-sama sejak pacaran. Enam hari dalam
seminggu mereka selalu bertemu. Dan hanya karena
sebuah kebetulan yang tidak direncanakan sama
sekali, Ruben pada akhirnya ilfil pada Lily.
“Aku minta maaf, Ben. Sungguh, itu kejadian yang gak disengaja.”
Lagi-lagi soal Allan yang membonceng Lily terangkat dalam pembicaraan antara mereka.
“Ly, aku juga minta maaf. Tapi, rasanya hubungan kita harus berakhir. Kamu tidak cinta aku sepenuhnya. Masih ada Allan dalam pikiranmu.”
Setelah sekian bulan pacaran, kata-kata Ruben seperti mata panah yang amat tajam. Terhujam
di lubuk hati Lily begitu dalam sehingga airmata
menitik begitu saja menahan rasa sakit di dadanya.
“Aku sayang kamu, Ben. Apa kamu sangsi?
“Kamu sayang aku, bukan cinta aku. Itu beda, Ly.
Tapi it’s ok. Waktu akan memulihkan semuanya.
Lagipula kita beda sekolah. Pasti akan lebih mudah
untuk saling melupakan.”
“Ben, sungguhkah kita harus berpisah?”
Ruben tidak menjawab, tetapi ketika mereka
akhirnya pulang sendiri-sendiri, Lily tahu bahwa
hubungan kasih itu telah berakhir.
Lily sedang membaca majalah. Ketika
lonceng depan berbunyi, ia membukakan pintu buat
seorang tamu. Allan. Melihat buket mawar yang
dibawa cowok itu, Lily gemetar.
“Hai, boleh aku masuk?” sapa Allan, begitu
lembut.
“Eeh, eeh, ayo masuklah.”
“Sudah lama kita gak ketemuan, Ly. Kamu
tampak kurusan ya?”
Lily mengangguk pelan. Tentu saja. Mata
cekungnya tidak bisa membohongi siapapun. Sudah
dua bulan ia putus dari Ruben, tapi masih ada
tangis yang tersisa atas cinta itu.
“Ly, masih ingat waktu kukatakan tentang
rindu itu?”
Desiran halus dalam dada Lily berubah
menjadi deburan dahsyat. Allan menatap matanya
langsung, dalam-dalam. “Ya, aku ingat.”
“Rindu itu buat kamu, Ly.”
Lili terperangah. Takjub. “Benarkah?”
“Iya. Sulit sekali mengungkapkannya karena
aku tidak bisa mengucapkan kata cinta buat kamu.
Tetapi akhirnya semua bisa kuredam, bisa
kulupakan. Karena sekarang ada Aster yang mulai
belajar mencintaiku. Aku harap ia bisa tumbuh
dewasa bersama dengan cinta yang kutabur
untuknya.”
“Jadi….”
“Aku baru mau meresmikan hubungan kami,
Ly. Makanya kubawakan ia bunga sebagai tanda
cinta. Cukup romantis kan?”
“Romantis sekali,” desis Lily.
“Aku gak mau ada orang lain yang keburu mendapatkan cinta Aster seperti yang terjadi
padamu. Aku belajar berani untuk mengungkapkan
perasaanku.”
Tubuh Lily lunglai. Bunga itu bukan untuknya. Cinta Allan juga bukan untuk hatinya. Malam ini ada satu hal yang Lily tahu pasti, akan ada airmata lagi yang menemani tidurnya.

PERSAHABATAN

PERSAHABATAN

Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit mendung, begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah kira-kira sedikit tentang diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang sahabat. Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan. Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari sahabat. Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat. Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Riea pada ‘sahabat’ku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku. Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya. Aku menutup wajahku dengan bantal. Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka ‘menjauhiku’. “Faiy, lo kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai. Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku. Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yamg dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku. Tetapi aku masih sering merasa sendiri. Sedangkan Allah setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba memelukku. “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin gue ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa menahan tangisnya. Aku merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang. Bahkan malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai sahabatnya. Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya, Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang kalau pisah, persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku tersenyum. Menyeka sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu, terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik pada siapapun. Dan yang terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. La takhof, wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya.

My Last Forty-Day Love

Rabu, 27 April 2011
Aku suka dia sejak SMP tapi dia sama sekali tidak menyadarinya. Yang membuatku masuk SMA ini hanya untuk bisa selalu melihatnya. Tapi tinggal 6 bulan lagi kelulusan SMA, ngobrol bersamanya pun tidak pernah atau mungkin dia tidak mengenalku. Aku tahu semua kesukaannya, hal yang dia benci sampai semua kebiasaan buruknya seperti tidur ngiler, suka baca komik porno, suka mengintip cewek ganti pakaian bahkan aku tahu siapa cewek yang dia suka. Tapi aku tetap menganggapnya pangeran dalam hidupku. Yuri dan Yuki hanya beda R dan K, apakah berarti kami jodoh?! Aku harap begitu.

Sampai tiba suatu hari sehabis pulang sekolah, aku melihatnya menyeberang jalan padahal tak sampai lima meter ada truk tengah melaju kencang. Aku berlari secepat mungkin berharap aku bisa menariknya menjauh dari jalan raya. Tapi apa yang terjadi?! Inilah awal kisah dimulai.

Aku memperhatikan wajah yuki yang imut, melihatnya pada saat tidur membuatku begitu senang. Saat kelopak matanya terangkat, aku tersenyum melihatnya.

“yuri” katanya menjauh tiga langkah karena kaget

Aku duduk ditempat tidurnya sambil tersenyum melihat ekspresi takutnya.

“ngapain kamu disini? Bukannya kamu sudah..” kata yuki

“mati” potongku

Yuki menelan air liurnya, dia melihatku dari ujung kaki sampai ujung rambut. Dia mencolek bahuku yang masih dilapisi seragam SMA. Yuki begitu ketakutan melihatku, wajahnya yang kusukai bercucuran keringat.

“kenapa kau tegang begitu?! Walaupun aku hantu tapi tetap maniskan?!” kataku tersenyum

“ngapain kamu disini?! Harusnya kamukan disurga” kata yuki masih dengan ekspersi takut

“aku cuma disini 40 hari, kamu tahukan kata orang kalo belum 40 hari arwahnya belum bisa pergi kesurga dan aku disini ingin minta pertanggungjawabanmu karna kamulah aku mati” kataku tajam mendekat kewajahnya

Yuki membelalakkan matanya, kali ini tatapannya sedih dan merasa bersalah.

“becanda! Ternyata aku baru tahu kamu orang yang ekspresif banget ya. Lucu!” kataku memberantakkan rambutnya.

Aku tidak tahu?! Seluruh tubuh dan sifatku seakan berubah menjadi lebih berani. Aku lebih berani menatapnya, tersenyum kepadanya, bercanda kepadanya. Tapi hanya satu yang tidak berubah perasaanku kepadanya.

***

38 hari berjalan begitu cepat, tidak terasa waktuku bersama yuki hanya tersisa dua hari lagi. 38 hari yang menyenangkan, 38 hari yang tidak mungkin terlupakan. Menakut-nakuti anak disekolah, membantu yuki

belajar, tidur disampingnya, melihatnya makan, memperhatikannya pada saat jam pelajaran, sampai membantunya mendapatkan cewek yang dia suka. Tapi aku belum juga mengatakan perasaanku ini. Padahal aku diberi penangguhan waktu untuk mengatakan perasaanku.

Dua hari terakhir sebelum aku pergi.

“sudah merasa nyaman aku melihatmu seperti ini” kataku duduk dihadapan yuki menatap wajahnya pada saat jam pelajaran.

Dia menulis sesuatu dibukunya.

siapa yang bisa nolak diliatin hantu manis kayak kamu’

Aku tersenyum membaca tulisan yuki.

“nanti aku bilangin rika lho” kataku tersenyum usil sambil melayang menjauh dari kelasku dulu.

Pada saat istirahat, aku berdiri memperhatikan yuki yang sedang berduaan dengan pacarnya, Rika. Aku tersenyum kesal membiarkan orang yang kusukai bercanda tawa dihadapanku. Aku melayang menjauh. Saat tengah malam aku kembali, terlihat ada setangkai mawar dan notenya ditujukan untukku.

maaf tadi aku nyuekin kamu, aku janji gak akan gitu lagi’

Aku memeluk bunga mawar itu erat, kulangkahkan kakiku menuju yuki terbaring. Kukecup keningnya, wajahnya terpejam tanpa tahu aku tengah menangis melihatnya. Aku baringkan mawar disamping tubuhnya. Kegelapan malam ini mengisyaratkan aku harus pergi.

***

Hari terakhir bersama yuki.

Aku bertekad akan menyampaikan perasaanku hari ini. Tapi tadi pagi aku kekamar yuki, tak terlihat dia berada disana. Sampai sorepun aku belum bertemu dengannya, seakan haripun tidak merestui aku mengungkapkan perasaanku. Akhirnya aku tulis note untuknya.

jam 7 aku tunggu kamu di loker wanita, tepatnya dilokerku’

Tepat pukul 7, yuki sampai dihadapanku. Aku berdiri tersenyum kepadanya. Dia balikkan wajahnya, tak mau ia melihatku. Aku berjalan mendekat. Aku pegang kedua tangannya, kuletakkan dikedua pipiku.

“kamu mau pamit?” tanya yuki sengau tetap tak melihatku

Aku menganguk pelan, terlihat wajah yuki memerah menahan tangis. Akhirnya dia melihat mataku juga, matanya berkaca-kaca walau tidak ada tetes-tetes air disitu.

“boleh aku pinta kamu jangan pergi?!” pinta yuki sambil mengelus pipiku lembut

Aku menggeleng pelan.

“enggak bisa, dunia kita beda. Kalau aku boleh milih aku juga gak mau pisah sama kamu, tapi sayangnya aku gak bisa milih” kataku menatapnya lembut

“oh iya waktu itu kamu tanya ke aku, ngapain aku disini?! Jawabannya ada disana, didalam lokerku ada surat buat kamu. Alasan aku ada disini ada didalam surat itu” kataku menunjuk loker bertuliskan Yuri.

Yuki berjalan kearah lokerku, membukanya dan membaca surat berwarna pink itu. Surat itu adalah surat cintaku yang yang tidak pernah kuberikan kepada yuki. Kali ini aku melihat air mata yuki mulai menetes, akupun tak bisa membendung isakkanku karna aku tahu sedikit demi sekidit tubuhku mulai menghilang dan kali ini aku benar-benar tidak akan bertemu dengan yuki lagi. Whuzz, angin berhembus kencang membuat rambut yuki bergerak kekanan. Yuki angkat kepalanya, matanya tak henti mencari sosok yuri. Tapi kini ia tahu yuri tidak akan pernah muncul lagi seperti dulu mengagetkannya. Yuki menangis dalam kesendirian, terisak dalam diam.

Isakkan itu begitu dalam, isakkan kehilangan abadi dari sepasang manusia yang tidak akan pernah bisa saling bersatu.

07 October 2010 - 15:27 WIB By : Miaw




'RAISHA' SAYANG MAMA

Aku selalu menjalani hari seperti biasanyaa. berangkad sekolah, belajar, pulang kerumah, dan hang out dengan teman-teman. Tapi tidak untuk hari ini. Entah mengapaa perasaanku gundah gulana, aku bingung, hatiku merasaaa sakid, tapi aku tak tau apa yang sedang aku pikirkan juga rasakan. ini terjadi terus menerus hingga sesaad sebelum bel pulang sekolah berdentang. Tiba-tiba sajahh sebuah pesan masuk kedalam inbox handphoneku.

Raiisha, papah sudah didepan gerbangmu. Kita harus menengok mamah di Bandung karna mamah sedang sakid.

Begitulah isi pesan singkad yang aku baca. Dari papah. Sejak perceraian itu, mamah dan papah telah berpisahh rumah. Tapi kami masih saling berhubungan baik. Aku memilih tinggal dengan papah karna aku malas untuk pindah sekolah ke Bandung . Kebetulaan sekali sekarang aku telah kelas dua belas. Rasanya sayang untuk adaptasi di hari hari terakhir sekolah. "aku merindukanmu mamah" ucapku lirih.

Setelah bel berdentang, aku langsung merapikan bukuku dengan sigap dan berlari menuju gerbang sekolah untuk menemui papah. Kulihad kerutan dalam di dahinya, pertanda papah sedang merasakan hal yang sama denganku antara takut, cemas, gundah, juga sedih. Tapi yaa, aku tak ingin menunjukan hal itu didepan papah karna aku tak ingin menambah beban pikirannya. Ku coba mencairkan suasana karna tak ingin berjalan dalam diam selama beberapa jam kedepan.

"Pah, mamah sakid apahh?" tanyaku pelan berusaha sedikid demi sedikid memecahkan keheningan ini.

"Mamah didiagnosa terkena kanker rahim sayang." jawab papah sambil menahan air mata yang aku tau mungkin sebentar lagi akan jatuh. Aku hanya bisa terdiam. Aku belum mengerti harus apa. Jujur aku shock! Hatiku menjeriit. Apa yang harus aku lakukan mamaahhh?! Aku tak ingin kehilangan mamahhh.

Tapi apa dayaakuu?! Kali ini kami memang benar-benar berdiam diri. Tak ada sepatah katapun keluar dari muludku ataupun papah. Kami sedang tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Aku mengingad masa-masa yang telah aku lalui bersama mamah. Rasanyaaa aku sangad takut bila suatu hari mamah meninggalkankuu. Meskipun kami telah berpisahh rumaahh. Tapi hari-hariku tetap diwarnai oleh kehadiran mamahh. Setiap hari mamah selalu meneleponku untuk mengucapkan selamad malam. Setiap akhir pekan mamah selalu mengajakku berjalan-jalan. Tapi kenapa selama beberapa hari kemarin aku benar-benar tidak menyadari kalau mamah sakid?

Mamah terlalu pintar menyembunyikan semuanyaaa. Bahkan dari papah sekalipun yang telah menemani hidupnya selama 15 tahun. "mamahh memang orang yang hebad tapi kali ini aku menyesali karna ternyata aku tidak terlalu peka untuk mengetahui apa yang sedang mamah rasakan. maaf." ujarku lirih dan papah hanya bisaa mengusap lembud rambudkuu sambil memberikan senyum terbaiknya seolah-olah mengatakan mamah akan baik-baik sajahh sayang. Walaupun aku tidak begitu yakin, tapi aku percayaa kalau kami semua adalah orang yang kuad.

Setibanya dirumah sakid. aku langsung mencari kamar mamah. Kubuka pintu perlahan dan kulihad mamahh sedang berbaring menghadap jendela dan membelakangiku. Mamah tidak tahu aku datang. kulihad badan itu kini telahh kurus, layu, tanpa gairah untuk menatap kehidupan. Sejujurnyaa aku tak kuasaaa menahan tangis. Tapi aku harus terlihad kuad untuk mamahh karna aku anak satu-satunya yang mamah miliki. Dengan langkah gontai ku hampiri mamah, kuusap rambudnyaa yang dulu biasa terlihad rapih juga indah dan kini berubah menjadi sedikid tidak terawat.

"mahhh ..."

"..." mamah hanya diam.
Dan akupun langsung memeluk mamahhh. Benar-benar kali ini tak lagi aku mampu menahan semua. Air mata ini berjatuhan membasahi pipinyaa. Kukecup perlahan dan sekali lagi kusapa hangad dirinya "mahh ini raiishhaaa. mamaahh kenapaa bisa begini mahh?"

Mamahhpun menolehh dan melihadku dengan mata nanar tapi aku tau mamah takkan pernah menunjukkan rasa sakidnyaa sesakid apapun yang dirasakan. "sayang, bagaimana hari ini? indahh?" yaaaa TUHAN! Aku lihadd ketegaran ituuu. Mamahh masih selalu menanyakan hal yang sama padaku. Setiap hari. Setiap saad dengan kalimad yang telah terekam di otakkuuu yang paling dalam, bagaimana hari ini? indah?

Aku hanya bisaaa menjawab dengan sakid di dada, "indahh mahh. raisha sayang mamahh. cepad sembuh yaa mahh." dan akupun langsung berlari keluar. Meninggalkan mamah dengan papah. karnaa sejujurnyaaa aku benar-benar belum siap melihad ini semuaa.

???

Dua minggu telah berlalu sejak hari itu. Hari dimana aku melihad mamah dalam keadaan berbeda. Entah mengapaa aku sulid untuk menerimaa bahkan akuu memagari diriku dengan pikiran agar aku tak melihad mamah. Karna aku benar-benar tak kuasaaa. Setiap kali papah mengajakku untuk menjenguk mamah, aku selalu menolak. Karna aku pikir itu bukan mamahku. Mamah yang aku kenal. BUKAN! Tapi setiap kali itu juga aku menampik, aku menyadari kenyataan kalau wanita yang tak berdaya itu adalah MAMAH.

Aku terlihad begitu egoiss. Aku terlihadd begitu jahad mungkiin. Tapi tolong rasakan apa yang aku rasakan. Aku menjeriidd. Benar-benar tak menyangkaa di usianya yang masih muda. Mamah harus mengalami sakid ituuu. Hingga pada akhirnyaaa suatu malam papah menghampiriku dan berbicara "sayang, mulai besok mamah akan tinggal bersama kita. papahh mauu memfokuskan diri untuk merawad mamahh. kasian kalau di Bandung , pasti tidak ada yang merawad. kamu tidak keberatan kan sayang?"

Aku tersentak kaget. Mamah akan tinggal bersama kami? Dengan begitu aku akan selalu melihad wajahnya, melihad tubuhnya yang kurus layu ituu? Ohh bagaimana ini tapi aku juga tidak mungkin mengecewakan papah karna tahu aku tak menginginkan mamah dalam keadaan itu.

Aku terdiam. Mencoba berpikir. Aku tidak boleh lagi egoiss. Bagaimana rasanyaa bila aku di posisi mamah. Saad anakku menolakk dirikuu. Tiba-tiba sajah tamparan kecil ituu menyadarkanku. Kalau aku haruss haruss menjadi anak yang lebih dewasa lagii. Dan perlahan ku anggukan kepala tanda menyetujui permintaan papah, lalu aku lihad secercah sinar dari mata juga senyum papah. KEBAHAGIAAN.

???

Keesokan harinyaa. Sepulang sekolah dan setibanya dirumah. Aku menuju kamarku dilantai dua, sebelum menaiki tangga. Kulihad pintu kamar tamu terbuka. Mamah?! Dalam hati aku bertanya, tapi aku langsung berlari menaiki tangga. Aku tak ingin menyapanyaa. Bukan tak ingin tapi lebih tepadnya aku belum siap. Setelah selesai berganti pakaian dan ingin makan, aku langsung turun kelantai bawah untuk mencari makanan yang biasanya telah disiapkan oleh bibi.

Dimejaa makan, ku buka tudung saji dan kulihad ada soup jagung dengan ayam bakar kesukaankuu. Ku buka piring yang tertelungkup, dan saad itu kutemukan secarik kertas dibawah piring itu.

Sayang bagaimana hari ini? Indah? Mamah sayang kamu hingga nafas terakhir mamah.

Saad ituu jugaa air mata ini kembali jatuhh. Aku terlaluu jahad sebagai seorang anak. Mamahh tulus menyayangikuu sedari kecil tapi aku membalasnya dengan perlakuan takk terdidik. Saad itu juga aku langsung berlarii menghampiri mamahh di kamar dan memeluknyaaa.

"mamahh, maafin raishaaa ." aku tak mampu berkatakata dan sekali lagi kudengar kata itu, "iia sayang, bagaimana hari ini? indah?"

Dann dengan senyum yang ku berikaan tulus untuk mamah, ku jawab "selalu indah mah karna mamahh." hingga rasaa takud, cemas, kecewa, sedih juga amarah lenyap begitu saja ketika kurasakan hangadnya pelukan mamahhh.

22 November 2009 - 13:14 WIB By : atanotonogoro

DUKA APRIL

Senin, 25 April 2011
Aku melihat semburat luka di matamu. Walau aku tahu kamu berusaha menutupinya, tapi kamu tidak akan bisa menyembunyikannya dariku.

April Tahun ini.
Rhe … saat ini aku berdiri di hadapanmu. Kamu pasti tahu, tidak banyak perubahan yang terjadi padaku. Aku masih Lies yang dulu. Lies yang masih terus mencintai kamu, terus mendambakan kamu. Lies yang selalu menghormati semua keputusan kamu.
Rhe … setahun yang lalu kita masih bersama. Tiap aku memandangmu, selalu aku merasakan sebuah kedamaian. Aku temukan keteduhan di matamu, walau saat itu aku belum berani mengatakan betapa aku mencintai kamu. Andai saja saat itu aku berani mengungkapkan …
Kamu masih ingat, Rhe? Nama kita pernah berkibar di Blantika Musik Indonesia sejak kita solid bergabung dalam group band ‘Alami’, album perdana kita menembus angka penjualan lebih dari satu juta copy hanya dalam waktu dua bulan saja. Kehadiran kamu sebagai vokalis pernah begitu dipuja oleh para remaja. Aku sebagai pemegang keyboard merasa bangga, saat mereka meneriakkan namamu tanpa henti. Memuja band kita. Tapi semuanya berubah Rhe … semua berubah saat kamu mulai mengenal dunia gemerlap malam dan obat-obatan terlarang.
Padahal Rhe yang aku kenal pertama kali adalah orang desa yang lugu, anak petani yang menginginkan sebuah keberhasilan di kota besar.
“Sorry Rhe. Kami sudah buat kesepakatan, selama ini kami selalu memberi kesempatan pada elo untuk berubah, keluar dari jaring obat-obatan. Tapi rupanya elo tidak bisa lagi memegang kepercayaan yang kami berikan. Dengan terpaksa kami harus mengeluarkan elo dari group kita,” ucap Aldo saat itu. Aku bisa melihat wajah piasmu, Rhe … aku melihatnya dengan jelas.
“Kalian nggak bisa begitu saja mendepak gue dari group ini. Bagaimanapun juga gue ikut andil dalam pendirian group ini sampai group ini besar dan diperhitungkan di industri musik!” Nada bicaramu tinggi, Rhe, memperlihatkan kalau kamu tidak bisa menahan amarah yang meluap dalam hatimu. Aku memahamimu …
“Ini bukan masalah kecil, Rhe. Elo pemakai, dan kami ingin group ini tetap bersih,” Desi ikut berbicara.
Aku melihat semburat luka di matamu. Walau aku tahu kamu berusaha menutupinya, tapi kamu tidak akan bisa menyembunyikannya dariku.
“Kami tidak menutup kesempatan kalau elo mau balik ke sini. Tapi setelah elo bener-bener sembuh,” tutur Ozi menimpali.
Setelah itu kamu keluar begitu saja dengan langkah lebarmu. Kamu tahu, Rhe? Aku mencoba membelamu, tapi apa yang kudapat saat itu?
“Setidaknya kita bisa beri dia kesempatan. Siapa tahu dia masih bisa memperbaiki dirinya!”
“Kita sudah berkali-kali kasih kesempatan pada dia, Lies.
Tapi apa buktinya? Dia tetap saja seperti itu,” Aldo tetap bersikeras.
“Tapi …”
“Kamu bisa ikut keluar dari group ini kalau masih saja membela dia!” Maaf … aku kalah Rhe. Aku sama sekali tidak bisa membelamu.
Malam itu aku langsung meluncur ke tempat kontrakanmu. Aku berharap kita bisa bicara dari hati ke hati, agar kamu tidak menyimpan pikiran buruk tentangku. Aku melihat wajahmu begitu terkejut, saat tahu akulah yang saat itu berdiri di hadapanmu.
“Rhe … gue ingin meluruskan masalah.” Kamu hanya menunduk tanpa mau menatapku, mencoba menutupi wajah kuyumu. Kamu hanya membuka pintu sedikit, membiarkanku terus berdiri di luar. Padahal saat itu udara di luar begitu dingin. Tiba-tiba aku mendengar suara laki-laki yang memanggilmu dengan keras, seolah tidak suka dengan kehadiranku.
“Rhe … jangan terlalu lama! Katanya kita mau coba barang baru,” ucapnya. Aku terbelalak tak percaya saat mendengarnya. Kamu terlihat gugup saat kutatap matamu dengan tajam. Jangan kamu pikir aku bodoh, Rhe. Aku tahu barang apa yang dia maksudkan. Kamu masih mengonsumsi barang-barang setan itu. kamu bohong! Kamu tidak sungguh-sungguh saat mengatakan ingin memperbaiki hidupmu.
“Pikiran gue tentang elo salah, Rhe. Ternyata elo memang pantas hengkang dari group kami! Kamu tidak pantas bergabung dengan group kami yang bersih!” ucapku saat itu begitu dalam. Aku kecewa padamu, sungguh kecewa Tapi sungguh, Rhe!
mengingatkan bahwa kehidupan yang kamu jalani saat itu adalah kehidupan yang akan menghancurkanmu kelak, dan aku tidak menginginkan hal itu terjadi padamu.
“Maafkan aku, Rhe …” gumamku. Namun hanya telingaku yang bisa mendengarnya. Aku meninggalkanmu, dengan mencoba menahan dingin yang semakin menggigit.

April tahun ini.
Kini aku berdiri tepat di hadapanmu. Walau aku tahu aku tak mungkin lagi bisa memilikimu. Aku ingat ceritamu. Kamu pernah bicara padaku kalau suatu saat nanti kamu ingin mengajakku ke daerah asalmu. Ah Rhe … semua itu kini hanya jadi impianku. Walau waktu terus berputar tapi kenangan akan dirimu terus mengalir dalam benakku. Betapa ingin aku terus mengingatnya, agar aku tak akan pernah lupa betapa kamu pernah mengisi lembar hatiku.
Malam itu saat group band kami latihan, kamu datang. Kamu bilang akan meninggalkan obat-obatan terlarang dan ingin kembali pada kami, untuk mengulang kembali kesuksesan yang pernah kita raih. Tapi sayang … saat itu kami sudah mendapatkan penggantimu. Kamu marah saat itu, kamu merasa dikhianati. Aku tak bisa membantu, aku kalah. Maafkan aku Rhe! Sungguh bukan itu keinginanku. Kalaupun aku bisa, aku ingin sekali membantumu.
Malamnya kamu menemuiku, kamu tumpahkan seluruh ganjalan di hatimu. Aku tahu … aku sangat tahu kamu sudah terlanjur terjebak dalam pergaulan bebas yang membuat hidupmu berantakan. Aku tahu luka hatimu Rhe, memang … hidup di kota besar se-metropolitan Jakarta itu tidaklah mudah.
Sayang … waktu tidak akan pernah bisa kembali. Waktu akan terus berjalan, terus menapak dan menggantikan hari-hari yang telah lalu, yang mungkin penuh dengan kesuraman. Dan kita pasti akan selalu diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memperbaiki kesalahan kita di masa lalu, menggantinya dengan hari yang lebih indah. Percayalah aku ikut terluka, Rhe. Aku turut merasakan betapa kecewanya dirimu. Aku benci pada diriku sendiriku, mengapa tidak bisa membuatmu tersenyum penuh kedamaian. Dan pagi itu 13 April 2005 aku mendengar beritamu. Berita kematianmu …
Rhe … kenapa kamu harus pergi dengan cara seperti itu? Kamu terlalu tergantung pada obat perusak itu hingga harus mengalami overdosis. Aku benci obat-obatan terkutuk itu! Yang telah membuatmu pergi dari diriku. Aku membaca suratmu, Rhe. Kamu katakan, betapa kamu kecewa karena setelah kamu benar-benar ingin memperbaiki dirimu, tak ada lagi orang yang mempercayaimu. Tapi kamu percaya Rhe, aku tetap mempercayai kamu sepenuhnya. Aku percaya kalau kamu benar-benar ingin memperbaiki kehidupan kelammu menjandi kehidupan yang lebih putih.
Rhe … apakah kamu tahu?

Aku begitu menyesali kebodohanku. Seharusnya aku bisa terus membelamu dan mempertahankan keberadaan kamu dalam group kita, tapi nyatanya aku sama sekali tidak bisa melakukan hal yang semestinya aku lakukan.

April tahun ini.
Rhe … setelah satu tahun berlalu, kini aku berdiri di hadapanmu. Tapi aku merasa hampa. Tak tahukah kamu, Rhe? Kini aku berada di kotamu. Yogya yang selalu kamu banggakan dengan keindahan alamnya. Aku ingin mendekapmu dalam pelukanku dan memberikan semua kedamaian yang aku punya dan kebahagiaan yang aku punya. Semua hanya untukmu, Rhe. Tapi aku tahu itu tidak mungkin lagi terjadi, Karena kini hanya pusaramu yang ada di hadapanku. Kupandang batu nisanmu. Nama ‘Rheina Yarkasi’ telah melekat di ingatanku dan akan terus seperti itu.
Setetes air bening mengalir dari sudut pipiku. Untuk kedua kalinya aku menangis untukmu. Setelah kematianmu setahun yang lalu. Dan saat ini, saat aku kembali datang untukmu. aku hanya bisa berharap dan berdoa, meminta pada Tuhan agar kamu mendapatkan kabahagiaan di sisi-Nya. Berbahagialah Rhe … hanya itu harapanku. Semoga Tuhan mengampuni semua kesalahanmu.
Rhe … aku ingin kamu tahu. Betapa aku mencintaimu, merindukanmu dan akan terus seperti itu. Walau hanya selintas bayang, itu cukup membuatku merasakan betapa kasihmu terus menyelimuti hatiku. Aku memang mencintaimu, Rhe. Dan akan tetap seperti itu.


Oleh Muktiar Selawati